Just let go
“Do
everything with a mind that lets go.
Don’t accept praise or gain or
anything else.
If you let go a little you will have a little peace;
if
you let go a lot you will have a lot of peace;
if you let go completely
you will have complete peace. ”
~ Ajahn Chah
~ Ajahn Chah
None of us wants suffering; we all want happiness, but...
None of us wants suffering; we all want happiness. But in fact happiness
is just a refined form (bentuk halus) of suffering. You can compare happiness and
unhappiness to a snake. The head of a snake is unhappiness, the tail is
happiness. The head of the snake is really dangerous, it has the
poisonous fangs. if you touch it, the snake will bite straight away. But
never mind the head; even if you grab hold of the tail, it'll turn
around and bite you just the same, because both the head and the tail belong to the snake.
In the same way, both happiness and unhappiness, or pleasure and sadness, arise from the same source - wanting. So when youre happy, your mind isnt peaceful. It really isnt! For instance (contoh), when we get the things we like, such as wealth, prestige, praise, or happiness, we are pleased. But the mind still harbors (mengandung/menyembunyikan) some uneasiness (kegelisahan/ketidaknyamanan) because we're afraid of losing it. That very fear isnt peaceful state. Later on we may actually lose that thing and then we really suffer.
Thus, even when youre happy, suffering is imminent (dekat/sebentar lagi) if youre arent aware. It's just the same as grabbing the snake's tail - if you dont let go it will bite. So whether it's the snake's tail or its head, that is, wholesome or unwholesome conditions, theyre all just characteristics of the Wheel of Existence, of endless change.
In the same way, both happiness and unhappiness, or pleasure and sadness, arise from the same source - wanting. So when youre happy, your mind isnt peaceful. It really isnt! For instance (contoh), when we get the things we like, such as wealth, prestige, praise, or happiness, we are pleased. But the mind still harbors (mengandung/menyembunyikan) some uneasiness (kegelisahan/ketidaknyamanan) because we're afraid of losing it. That very fear isnt peaceful state. Later on we may actually lose that thing and then we really suffer.
Thus, even when youre happy, suffering is imminent (dekat/sebentar lagi) if youre arent aware. It's just the same as grabbing the snake's tail - if you dont let go it will bite. So whether it's the snake's tail or its head, that is, wholesome or unwholesome conditions, theyre all just characteristics of the Wheel of Existence, of endless change.
PENGENALAN DIRI
Tanpa pengenalan diri, apa pun yang Anda lakukan, tidak mungkin ada keadaan meditasi.
Yang saya maksud dengan ‘pengenalan diri’ adalah menyadari setiap pikiran, setiap suasana batin, setiap kata, setiap perasaan; menyadari kegiatan batin Anda -- bukan menyadari diri tertinggi, Aku yang luhur, tidak ada itu; diri yang lebih tinggi, atman, masih berada di dalam lingkup pikiran.
Pikiran adalah hasil keterkondisian Anda, pikiran adalah respons ingatan Anda -- ingatan nenek moyang atau ingatan belum lama berselang. Dan sekadar mencoba bermeditasi tanpa lebih dulu menegakkan secara mendalam, sehingga tak tercabut kembali, kebajikan yang datang dari pengenalan diri adalah sama sekali menyesatkan dan sama sekali tak berharga.
Mohon diperhatikan, ini sangat penting bagi mereka yang serius untuk memahami ini. Oleh karena jika Anda tidak dapat melakukannya, maka meditasi Anda dan kehidupan sehari-hari Anda tercerai, terpisah -- begitu jauh terpisah sehingga sekalipun mungkin Anda bermeditasi, duduk bersila terus-menerus, sepanjang sisa hidup Anda, Anda tidak akan melihat lebih jauh dari hidung Anda; sikap tubuh apa pun yang Anda ambil, apa pun yang Anda lakukan, tidak akan berarti sama sekali.
Penting dipahami apa pengenalan diri ini: sekadar sadar, tanpa memilih sedikit pun, akan sang ‘aku’ yang bersumber pada seonggok ingatan -- sekadar menyadarinya tanpa menafsirkan, sekadar mengamati gerakan batin.
Tetapi pengamatan itu terhalang bila Anda mengumpulkan melalui pengamatan: apa yang harus dikerjakan, apa yang tak boleh dikerjakan, apa yang harus dicapai; jika Anda lakukan itu, Anda mengakhiri proses yang hidup dari gerakan batin sebagai diri. Artinya, saya harus mengamati dan melihat faktanya, yang aktual, apa adanya.
Jika saya mendekatinya dengan sebuah gagasan, dengan sebuah opini -- misalnya, “saya harus begini”, atau “saya tidak boleh begitu”, yang adalah respons ingatan -- maka gerakan dari apa adanya akan terhalang, terbendung; dan oleh karena itu, tidak terjadi belajar.
J Krishnamurti
Buku Kehidupan: Pengenalan Diri
28 Januari
Yang saya maksud dengan ‘pengenalan diri’ adalah menyadari setiap pikiran, setiap suasana batin, setiap kata, setiap perasaan; menyadari kegiatan batin Anda -- bukan menyadari diri tertinggi, Aku yang luhur, tidak ada itu; diri yang lebih tinggi, atman, masih berada di dalam lingkup pikiran.
Pikiran adalah hasil keterkondisian Anda, pikiran adalah respons ingatan Anda -- ingatan nenek moyang atau ingatan belum lama berselang. Dan sekadar mencoba bermeditasi tanpa lebih dulu menegakkan secara mendalam, sehingga tak tercabut kembali, kebajikan yang datang dari pengenalan diri adalah sama sekali menyesatkan dan sama sekali tak berharga.
Mohon diperhatikan, ini sangat penting bagi mereka yang serius untuk memahami ini. Oleh karena jika Anda tidak dapat melakukannya, maka meditasi Anda dan kehidupan sehari-hari Anda tercerai, terpisah -- begitu jauh terpisah sehingga sekalipun mungkin Anda bermeditasi, duduk bersila terus-menerus, sepanjang sisa hidup Anda, Anda tidak akan melihat lebih jauh dari hidung Anda; sikap tubuh apa pun yang Anda ambil, apa pun yang Anda lakukan, tidak akan berarti sama sekali.
Penting dipahami apa pengenalan diri ini: sekadar sadar, tanpa memilih sedikit pun, akan sang ‘aku’ yang bersumber pada seonggok ingatan -- sekadar menyadarinya tanpa menafsirkan, sekadar mengamati gerakan batin.
Tetapi pengamatan itu terhalang bila Anda mengumpulkan melalui pengamatan: apa yang harus dikerjakan, apa yang tak boleh dikerjakan, apa yang harus dicapai; jika Anda lakukan itu, Anda mengakhiri proses yang hidup dari gerakan batin sebagai diri. Artinya, saya harus mengamati dan melihat faktanya, yang aktual, apa adanya.
Jika saya mendekatinya dengan sebuah gagasan, dengan sebuah opini -- misalnya, “saya harus begini”, atau “saya tidak boleh begitu”, yang adalah respons ingatan -- maka gerakan dari apa adanya akan terhalang, terbendung; dan oleh karena itu, tidak terjadi belajar.
J Krishnamurti
Buku Kehidupan: Pengenalan Diri
28 Januari
baik dan buruk cuma ada di pikiran. pada kenyataannya tidak ada
KRISTIANA TRIASTUTI:
mf pak apakah standar baik buruk, menurut anda? terimakasih.
HUDOYO HUPUDIO:
Baik & buruk itu cuma ada di pikiran.
Tidak ada baik & buruk dalam kenyataannya di luar pikiran.
Sama saja dengan:
benar & salah;
boleh (halal) & tidak boleh (haram);
indah & jelek;
semuanya cuma ada di pikiran.
[dari wall FB]
mf pak apakah standar baik buruk, menurut anda? terimakasih.
HUDOYO HUPUDIO:
Baik & buruk itu cuma ada di pikiran.
Tidak ada baik & buruk dalam kenyataannya di luar pikiran.
Sama saja dengan:
benar & salah;
boleh (halal) & tidak boleh (haram);
indah & jelek;
semuanya cuma ada di pikiran.
[dari wall FB]
CONTOH MENYADARI KE DALAM
"Sebagai satu contoh:
kalau Anda mempunyai pembantu…
atau mempunyai anak…
atau pembantu setia…
belasan tahun setia...
suatu hari mencuri.
Sebagai orang yang mengerti meditasi…
sebagai orang yang mengerti Dhamma…
reaksi harus kemari dulu [menunjuk dada]…
Begitu Anda mendengar anak Anda atau pembantu Anda
mencuri...
apa yang timbul di dalam...
tidak senang... marah... jengkel... penasaran... tegang...
sadari dulu... sadari... sadari...
dengan menyadari secara netral...
maka itu menjadi rileks...
"Apa anak itu, pembantu itu, tidak perlu dinasehati? Apa
dibiarkan dia berbuat begitu? Itu kan buruk..."
Ya... dinasehati... nanti...
tapi respon kemari dulu.. [menunjuk dada]
Kalau Anda tidak merespon kemari...
langsung ke sana... [menunjuk ke luar]
apa yang timbul?...
"Wah, kurang ajar sekali... tidak tahu budi... sudah jadi
buruk... setan mana yang masuk ke pikiran dia...
Dia tidak ingat berapa tahun kami rawat… dsb dsb..."
Kemudian Anda memanggil…
kemudian Anda menasehati...
Orang mengatakan, "Pak, Bu, jangan marah"...
"Aku tidak marah!"...
Nasehat itu menjadi alat untuk melampiaskan kemarahan
Anda...
karena Anda tidak melihat ke dalam dulu...
Dhamma, meditasi meminta kita melihat ke dalam dulu,
bagaimana reaksi Anda begitu Anda mendengar pembantu
Anda, anak Anda mencuri...
tidak senang... jengkel... kebencian... dsb
sebagai objek meditasi...
Anda menemukan objek meditasi...
Sebetulnya tidak usah menemukan saat itu,
tiap saat kita punya objek meditasi banyak...
Begitu disadari... disadari... kemudian menjadi tenang...
baru dinasehati...
nasehat Anda akan keluar dengan cinta kasih...
Cinta kasih tidak usah ingat, "O, metta dulu... baca karaniya-
metta-sutta dulu... baru kasih nasehat"...
Tidak!...
Begitu pikiran Anda tenang, tenteram, bersih dari kotoran
batin...
yang keluar ini otomatis cinta kasih...
Ingin memperbaiki dia...
bukan ingin melampiaskan kemarahan."
[Dari ceramah Sri Pannyavaro Mahathera bersama Sayadaw U Tejaniya di Vihara Buddha Sakyamuni, Denpasar, 28 Oktober, 2010: e-book #13, "Dapatkah Penderitaan Berakhir, Sekarang?", dari situs MMD, http://meditasi-mengenal-diri.org/mmd_download_ebooks.html]
kalau Anda mempunyai pembantu…
atau mempunyai anak…
atau pembantu setia…
belasan tahun setia...
suatu hari mencuri.
Sebagai orang yang mengerti meditasi…
sebagai orang yang mengerti Dhamma…
reaksi harus kemari dulu [menunjuk dada]…
Begitu Anda mendengar anak Anda atau pembantu Anda
mencuri...
apa yang timbul di dalam...
tidak senang... marah... jengkel... penasaran... tegang...
sadari dulu... sadari... sadari...
dengan menyadari secara netral...
maka itu menjadi rileks...
"Apa anak itu, pembantu itu, tidak perlu dinasehati? Apa
dibiarkan dia berbuat begitu? Itu kan buruk..."
Ya... dinasehati... nanti...
tapi respon kemari dulu.. [menunjuk dada]
Kalau Anda tidak merespon kemari...
langsung ke sana... [menunjuk ke luar]
apa yang timbul?...
"Wah, kurang ajar sekali... tidak tahu budi... sudah jadi
buruk... setan mana yang masuk ke pikiran dia...
Dia tidak ingat berapa tahun kami rawat… dsb dsb..."
Kemudian Anda memanggil…
kemudian Anda menasehati...
Orang mengatakan, "Pak, Bu, jangan marah"...
"Aku tidak marah!"...
Nasehat itu menjadi alat untuk melampiaskan kemarahan
Anda...
karena Anda tidak melihat ke dalam dulu...
Dhamma, meditasi meminta kita melihat ke dalam dulu,
bagaimana reaksi Anda begitu Anda mendengar pembantu
Anda, anak Anda mencuri...
tidak senang... jengkel... kebencian... dsb
sebagai objek meditasi...
Anda menemukan objek meditasi...
Sebetulnya tidak usah menemukan saat itu,
tiap saat kita punya objek meditasi banyak...
Begitu disadari... disadari... kemudian menjadi tenang...
baru dinasehati...
nasehat Anda akan keluar dengan cinta kasih...
Cinta kasih tidak usah ingat, "O, metta dulu... baca karaniya-
metta-sutta dulu... baru kasih nasehat"...
Tidak!...
Begitu pikiran Anda tenang, tenteram, bersih dari kotoran
batin...
yang keluar ini otomatis cinta kasih...
Ingin memperbaiki dia...
bukan ingin melampiaskan kemarahan."
[Dari ceramah Sri Pannyavaro Mahathera bersama Sayadaw U Tejaniya di Vihara Buddha Sakyamuni, Denpasar, 28 Oktober, 2010: e-book #13, "Dapatkah Penderitaan Berakhir, Sekarang?", dari situs MMD, http://meditasi-mengenal-diri.org/mmd_download_ebooks.html]
Hakikat Pikiran
Saya selalu menekankan sifat2 pikiran sebagai berikut:
Definisi 'pikiran': "tanggapan terhadap rangsangan/objek yg datang dari luar (melalui pancaindera) dan yg datang dari dalam (ingatan dari masa lampau)."
Ada sekurang2nya 5 sifat pikiran yg perlu diketahui:
(1) Pikiran menggunakan kata2/bahasa; jadi satu kata, mengenali sesuatu dsb adalah pikiran.
(2) Pikiran selalu terbatas, terkondisi (oleh masa lampau), dan subjektif (tidak ada pikiran yg sepenuhnya objektif).
(3) Pikiran menciptakan 'dualitas psikologis' (benar/salah, boleh/tidak-boleh, baik/buruk, indah/jelek) yg tidak ada dalam kenyataannya di luar pikiran.
(4) Pikiran menciptakan aku/diri/ego/kramadangsa, yg tidak ada dalam kenyataannya di luar pikiran.
(5) Pikiran menciptakan waktu (masa lampau & masa depan) yg tidak ada dalam kenyataannya di luar pikiran.
Jadi: di satu sisi, pikiran sangat penting untuk survival individu manusia, dan telah menghasilkan kecanggihan teknologi material masa kini; tetapi di sisi lain, pikiran adalah sumber konflik dan penderitaan di dalam batin dan di masyarakat.
Pikiran dapat memahami kebenaran2 material; tetapi pikiran tidak dapat memahami kebenaran spiritual. Untuk sampai pada kebenaran yg hakiki, pikiran dan aku/diri harus berhenti/padam.
[Hudoyo Hupudio]
Definisi 'pikiran': "tanggapan terhadap rangsangan/objek yg datang dari luar (melalui pancaindera) dan yg datang dari dalam (ingatan dari masa lampau)."
Ada sekurang2nya 5 sifat pikiran yg perlu diketahui:
(1) Pikiran menggunakan kata2/bahasa; jadi satu kata, mengenali sesuatu dsb adalah pikiran.
(2) Pikiran selalu terbatas, terkondisi (oleh masa lampau), dan subjektif (tidak ada pikiran yg sepenuhnya objektif).
(3) Pikiran menciptakan 'dualitas psikologis' (benar/salah, boleh/tidak-boleh, baik/buruk, indah/jelek) yg tidak ada dalam kenyataannya di luar pikiran.
(4) Pikiran menciptakan aku/diri/ego/kramadangsa, yg tidak ada dalam kenyataannya di luar pikiran.
(5) Pikiran menciptakan waktu (masa lampau & masa depan) yg tidak ada dalam kenyataannya di luar pikiran.
Jadi: di satu sisi, pikiran sangat penting untuk survival individu manusia, dan telah menghasilkan kecanggihan teknologi material masa kini; tetapi di sisi lain, pikiran adalah sumber konflik dan penderitaan di dalam batin dan di masyarakat.
Pikiran dapat memahami kebenaran2 material; tetapi pikiran tidak dapat memahami kebenaran spiritual. Untuk sampai pada kebenaran yg hakiki, pikiran dan aku/diri harus berhenti/padam.
[Hudoyo Hupudio]
MENGAMATI DARI BATIN YANG HENING
Oleh: J. Krishnamurti
Untuk menemukan apa artinya mencinta, bukankah orang harus bebas dari kemilikan, kelekatan, kecemburuan, kemarahan, kebencian, kecemasan, ketakutan? Bebas dari kelekatan--marilah kita ambil itu untuk sementara. Ketika Anda melekat, apakah yang Anda lekati? Misalkan, kita melekat pada meja ini, apakah yang tersirat dalam kelekatan itu? Kesenangan, rasa memiliki, menghargai kegunaannya, merasa bahwa itu meja yang bagus, dan sebagainya.
Bila seorang manusia melekat kepada orang lain, apakah yang terjadi? Bila orang melekat kepada Anda, apakah perasaan orang lain yang melekat kepada Anda itu? Di dalam kelekatan itu terdapat kebanggaan memiliki, rasa mendominasi, takut kehilangan orang itu, dengan demikian terdapat kecemburuan, dan dengan demikian kelekatan lebih besar, kemilikan lebih besar, kecemasan.
Nah, bila tidak ada kelekatan, apakah itu berarti tidak ada cinta, tidak ada tanggung jawab? Bagi kebanyakan dari kita, cinta berarti konflik yang buruk di antara manusia, dan dengan demikian hubungan menjadi kecemasan abadi. Anda tahu semua ini, saya tidak perlu memberitahu Anda. Itulah yang kita namakan cinta.
Dan untuk lari dari ketegangan yang buruk dari apa yang kita namakan cinta, kita mempunyai segala macam hiburan--dari televisi sampai agama. Kita bertengkar, lalu pergi ke gereja, atau ke kuil, dan setelah pulang kita mulai lagi. Ini berlangsung sepanjang waktu.
Bisakah orang bebas dari semua ini, ataukah itu mustahil? Jika mustahil, maka kehidupan kita adalah kecemasan abadi, dan dari situ muncullah segala macam sikap, kepercayaan, dan tindakan yang neurotik. Mungkinkah untuk bebas dari kelekatan? Itu menyangkut banyak hal. Mungkinkah bagi manusia untuk bebas dari kelekatan namun tetap merasa bertanggung-jawab?
Nah, bebas dari kelekatan (attachment) tidak berarti kebalikannya, kelepasan (detachment). Sangat penting untuk memahami ini. Bila kita melekat, kita tahu kepedihan dari kelekatan, kecemasannya, dan kita berkata, "Ya Tuhan, saya harus melepaskan diri dari semua kengerian ini." Jadi mulailah pergulatan untuk lepas, mulailah konflik.
Jika Anda sadar akan kata dan faktanya--kata 'kelekatan' dan kebebasan dari kata itu, yang adalah perasaannya--maka Anda mengamati perasaan itu tanpa penilaian apa pun. Maka Anda akan melihat bahwa dari pengamatan total itu terdapat suatu gerakan yang lain sekali, yang bukan kelekatan, bukan pula kelepasan. Apakah Anda melakukannya sementara kita berbicara, ataukah Anda sekadar menyimak sejumlah besar kata-kata?
Anda tahu, Anda melekat erat-erat kepada sebuah rumah, kepada suatu kepercayaan, kepada suatu prasangka, kepada suatu kesimpulan, kepada seseorang, kepada suatu idaman. Kelekatan memberikan rasa aman yang besar, yang adalah ilusi, bukan? Melekat kepada sesuatu adalah ilusi, oleh karena sesuatu itu mungkin pergi. Jadi, yang Anda lekati adalah citra yang Anda buat tentang hal itu. Dapatkah Anda bebas dari kelekatan sehingga ada tanggung jawab yang bukan kewajiban?
Lalu, apakah cinta bila tidak ada kelekatan? Jika Anda melekat kepada suatu kebangsaan, Anda memuja isolasi dari kebangsaan, yang adalah sejenis kesukuan yang diagungkan. Apa akibatnya? Itu memisahkan, bukan? Jika saya amat melekat kepada kebangsaan saya sebagai seorang Hindu, dan Anda melekat kepada Jerman, Prancis, Italia, Inggris, maka kita terpisah--dan ada perang, dengan segala kerumitannya. Nah, jika tidak ada kelekatan, apakah yang terjadi? Apakah itu cinta?
Jadi kelekatan bersifat memisahkan. Saya melekat kepada kepercayaanku, dan Anda melekat kepada kepercayaan Anda, dengan demikian terdapat pemisahan. Lihatlah saja konsekuensinya, implikasinya. Bila ada kelekatan, ada pemisahan, dan dengan demikian ada konflik. Di mana ada konflik, tidak mungkin ada cinta.
Dan apakah hubungan antara satu orang dan orang lain bila ada kebebasan dari kelekatan beserta segala implikasinya? Apakah itu awal--saya sekadar menggunakan kata itu, 'awal’, jangan mengritiknya--apakah itu awal dari welas asih? Bila tidak ada kebangsaan dan tidak ada kelekatan kepada kepercayaan apa pun, kepada kesimpulan apa pun, kepada idaman apa pun, maka seorang manusia adalah manusia yang bebas, dan hubungannya dengan orang lain datang dari kebebasan itu, datang dari cinta, datang dari welas asih.
Anda lihat, semua ini adalah bagian dari kesadaran (awareness). Nah, perlukah Anda menganalisis seperti yang kita lakukan untuk melihat makna dari kelekatan, beserta segala implikasinya, atau dapatkah Anda mengamati totalitasnya dengan seketika, baru menganalisis kemudian? Bukan sebaliknya.
Kita terbiasa dengan analisis, bagian dari pendidikan kita adalah menganalisis, dan dengan demikian kita menghabiskan banyak waktu untuk itu. Kita menyarankan sesuatu yang lain sekali: mengamati, melihat totalitas, baru menganalisis. Lalu itu menjadi sangat sederhana.
Tetapi jika Anda menganalisis dan mencoba untuk mencapai totalitas, Anda mungkin keliru; biasanya Anda keliru. Tetapi mengamati totalitas dari sesuatu, yang berarti tanpa arah, maka analisis menjadi penting atau tidak penting, Anda boleh menganalisis atau tidak.
Nah, sekarang saya ingin memasuki suatu hal lain dari sini. Adakah sesuatu yang suci di dalam hidup, yang adalah bagian dari semua ini? Adakah sesuatu yang suci dalam hidup Anda? Buanglah kata itu, pisahkan kata, citra, simbol--yang sangat berbahaya--dan bila Anda lakukan itu, bertanyalah kepada diri sendiri, "Adakah sesuatu yang sungguh-sungguh suci dalam hidupku, ataukah segala sesuatu dangkal, segala sesuatu dibentuk oleh pikiran?"
Pikiran tidak suci, bukan? Apakah Anda berpendapat bahwa pikiran dan semua yang dibentuk oleh pikiran itu suci? Kita telah terkondisikan untuk itu; sebagai seorang Hindu, seorang Buddhis, seorang Kristen, kita terkondisi untuk memuja, menjunjung tinggi, berdoa kepada hal-hal yang dibentuk oleh pikiran. Dan itu kita namakan suci.
Kita harus menemukan, oleh karena jika Anda tidak menemukan apakah ada sesuatu yang sungguh-sungguh suci yang tidak dibentuk oleh pikiran, maka hidup menjadi semakin dangkal, semakin mekanis, dan akhir dari hidup kita sama sekali tak bermakna.
Anda tahu, kita begitu melekat kepada berpikir dan seluruh proses berpikir, dan kita memuja hal-hal yang dibentuk oleh pikiran. Suatu citra, suatu simbol, suatu pahatan, entah dibuat dengan tangan entah dengan pikiran, adalah proses pikiran.
Dan pikiran adalah ingatan, pengalaman, pengetahuan, yang adalah masa lampau. Dan masa lampau menjadi tradisi, dan tradisi menjadi hal yang paling suci. Jadi apakah kita memuja tradisi? Adakah sesuatu yang tak ada kaitannya dengan pikiran dan tradisi, dengan ritual, dengan seluruh sirkus yang tengah berlangsung ini?
Kita harus temukan. Bagaimana Anda menemukan? Bukan sebuah metode; bila saya menggunakan kata 'bagaimana’, saya tidak menyiratkan suatu metode. Adakah sesuatu yang suci dalam hidup?
Ada sekelompok besar orang yang berkata, "Sama sekali tidak ada apa-apa. Anda adalah hasil dari lingkungan, dan Anda dapat mengubah lingkungan, jadi jangan bicara tentang sesuatu yang suci. Anda akan menjadi seorang individu yang mekanis dan berbahagia."
Tetapi, jika kita sangat, sangat serius tentang hal ini--dan kita harus sungguh-sungguh secara mendalam serius--Anda tidak masuk dalam suatu kelompok materialis atau kelompok religius, yang juga berdasarkan pikiran. Maka Anda harus menemukan. Anda tidak membuat pernyataan apa-apa. Maka Anda mulai menyelidik.1350000
Nah, apa artinya menyelidik ke dalam diri sendiri untuk menemukan apakah ada sesuatu yang suci secara mendalam dalam kehidupan kita--dalam kehidupan, bukan kehidupan kita--dalam hidup? Adakah sesuatu yang secara menakjubkan, tertinggi, suci? Ataukah tidak ada apa-apa sama sekali?
Perlu untuk memiliki batin yang amat hening, oleh karena hanya di dalam kebebasan itu Anda bisa menemukan. Harus ada kebebasan memandang, tetapi jika Anda berkata, "Yah, saya suka akan kepercayaanku, saya akan berpegang pada itu," Anda tidak bebas.
Atau jika Anda berkata, "Segala sesuatu adalah materialistik," yang adalah gerakan pikiran, maka Anda juga tidak bebas. Jadi untuk mengamati harus ada kebebasan dari paksaan oleh peradaban, keinginan pribadi, harapan pribadi, prasangka, dambaan, ketakutan.
Anda hanya bisa mengamati bila batin hening sempurna. Bisakah batin berada sepenuhnya tanpa tindakan? Oleh karena jika ada gerakan, ada distorsi. Kita menemukan bahwa itu sulit sekali, oleh karena pikiran segera masuk; jadi kita berkata, "Saya harus mengendalikan pikiran."
Tetapi si pengendali adalah yang dikendalikan. Bila Anda melihat itu, bahwa si pemikir adalah pikiran, si pengendali adalah yang dikendalikan, si pengamat adalah yang diamati, maka tidak ada gerakan.
Kita menyadari bahwa marah adalah bagian dari si pengamat yang berkata, "Saya marah," sehingga marah dan si pengamat adalah sama. Itu jelas dan sederhana. Secara itu pula, si pemikir yang ingin mengendalikan pikiran masih pikiran juga. Bila kita menyadari itu, maka gerakan pikiran berhenti.
Bila tidak ada gerakan apa pun di dalam batin, maka secara alamiah batin hening, tanpa upaya, tanpa paksaan, tanpa kehendak. Ia hening secara alamiah; itu bukan keheningan yang dipupuk oleh karena yang itu cuma mekanis, yang bukan keheningan melainkan hanyalah ilusi keheningan.
Jadi ada kebebasan. Kebebasan menyiratkan semua yang telah kita bicarakan, dan dalam kebebasan itu terdapat keheningan, yang berarti tiada gerakan. Maka Anda dapat mengamati--maka ada pengamatan; maka hanya ada pengamatan, tiada si pengamat yang mengamati. Jadi hanya ada pengamatan yang datang dari keheningan total, keheningan batin sepenuhnya. Lalu, apakah yang terjadi?
Jika Anda telah melangkah sejauh itu--yang adalah kebebasan dari keterkondisian kita, dan dengan demikian tiada gerakan, dan hanya keheningan, diam sempurna--maka kecerdasan pun bekerja, bukan?
Melihat hakekat kelekatan, beserta seluruh implikasinya, tercerahkan terhadap semua itu, adalah kecerdasan. Hanya bila Anda sudah sampai ke titik itu, yang berarti bebas, disertai bekerjanya kecerdasan, Anda memiliki batin yang hening, sehat dan waras. Dan di dalam keheningan itu Anda akan menemukan apakah ada sesuatu yang sungguh-sungguh suci, atau tidak ada apa-apa sama sekali.
["Observing from a Quiet Mind" from the public dialogue at Saanen on 1 August 1976 © 1976/1998 Krishnamurti Foundation Trust, Ltd.]
["Mengamati dari Batin yang Hening" adalah bab ke-13 dari buku Krishnamurti, This Light in Oneself: True Meditation, Copyright © 1999 Krishnamurti Foundation Trust, Ltd. ]
Untuk menemukan apa artinya mencinta, bukankah orang harus bebas dari kemilikan, kelekatan, kecemburuan, kemarahan, kebencian, kecemasan, ketakutan? Bebas dari kelekatan--marilah kita ambil itu untuk sementara. Ketika Anda melekat, apakah yang Anda lekati? Misalkan, kita melekat pada meja ini, apakah yang tersirat dalam kelekatan itu? Kesenangan, rasa memiliki, menghargai kegunaannya, merasa bahwa itu meja yang bagus, dan sebagainya.
Bila seorang manusia melekat kepada orang lain, apakah yang terjadi? Bila orang melekat kepada Anda, apakah perasaan orang lain yang melekat kepada Anda itu? Di dalam kelekatan itu terdapat kebanggaan memiliki, rasa mendominasi, takut kehilangan orang itu, dengan demikian terdapat kecemburuan, dan dengan demikian kelekatan lebih besar, kemilikan lebih besar, kecemasan.
Nah, bila tidak ada kelekatan, apakah itu berarti tidak ada cinta, tidak ada tanggung jawab? Bagi kebanyakan dari kita, cinta berarti konflik yang buruk di antara manusia, dan dengan demikian hubungan menjadi kecemasan abadi. Anda tahu semua ini, saya tidak perlu memberitahu Anda. Itulah yang kita namakan cinta.
Dan untuk lari dari ketegangan yang buruk dari apa yang kita namakan cinta, kita mempunyai segala macam hiburan--dari televisi sampai agama. Kita bertengkar, lalu pergi ke gereja, atau ke kuil, dan setelah pulang kita mulai lagi. Ini berlangsung sepanjang waktu.
Bisakah orang bebas dari semua ini, ataukah itu mustahil? Jika mustahil, maka kehidupan kita adalah kecemasan abadi, dan dari situ muncullah segala macam sikap, kepercayaan, dan tindakan yang neurotik. Mungkinkah untuk bebas dari kelekatan? Itu menyangkut banyak hal. Mungkinkah bagi manusia untuk bebas dari kelekatan namun tetap merasa bertanggung-jawab?
Nah, bebas dari kelekatan (attachment) tidak berarti kebalikannya, kelepasan (detachment). Sangat penting untuk memahami ini. Bila kita melekat, kita tahu kepedihan dari kelekatan, kecemasannya, dan kita berkata, "Ya Tuhan, saya harus melepaskan diri dari semua kengerian ini." Jadi mulailah pergulatan untuk lepas, mulailah konflik.
Jika Anda sadar akan kata dan faktanya--kata 'kelekatan' dan kebebasan dari kata itu, yang adalah perasaannya--maka Anda mengamati perasaan itu tanpa penilaian apa pun. Maka Anda akan melihat bahwa dari pengamatan total itu terdapat suatu gerakan yang lain sekali, yang bukan kelekatan, bukan pula kelepasan. Apakah Anda melakukannya sementara kita berbicara, ataukah Anda sekadar menyimak sejumlah besar kata-kata?
Anda tahu, Anda melekat erat-erat kepada sebuah rumah, kepada suatu kepercayaan, kepada suatu prasangka, kepada suatu kesimpulan, kepada seseorang, kepada suatu idaman. Kelekatan memberikan rasa aman yang besar, yang adalah ilusi, bukan? Melekat kepada sesuatu adalah ilusi, oleh karena sesuatu itu mungkin pergi. Jadi, yang Anda lekati adalah citra yang Anda buat tentang hal itu. Dapatkah Anda bebas dari kelekatan sehingga ada tanggung jawab yang bukan kewajiban?
Lalu, apakah cinta bila tidak ada kelekatan? Jika Anda melekat kepada suatu kebangsaan, Anda memuja isolasi dari kebangsaan, yang adalah sejenis kesukuan yang diagungkan. Apa akibatnya? Itu memisahkan, bukan? Jika saya amat melekat kepada kebangsaan saya sebagai seorang Hindu, dan Anda melekat kepada Jerman, Prancis, Italia, Inggris, maka kita terpisah--dan ada perang, dengan segala kerumitannya. Nah, jika tidak ada kelekatan, apakah yang terjadi? Apakah itu cinta?
Jadi kelekatan bersifat memisahkan. Saya melekat kepada kepercayaanku, dan Anda melekat kepada kepercayaan Anda, dengan demikian terdapat pemisahan. Lihatlah saja konsekuensinya, implikasinya. Bila ada kelekatan, ada pemisahan, dan dengan demikian ada konflik. Di mana ada konflik, tidak mungkin ada cinta.
Dan apakah hubungan antara satu orang dan orang lain bila ada kebebasan dari kelekatan beserta segala implikasinya? Apakah itu awal--saya sekadar menggunakan kata itu, 'awal’, jangan mengritiknya--apakah itu awal dari welas asih? Bila tidak ada kebangsaan dan tidak ada kelekatan kepada kepercayaan apa pun, kepada kesimpulan apa pun, kepada idaman apa pun, maka seorang manusia adalah manusia yang bebas, dan hubungannya dengan orang lain datang dari kebebasan itu, datang dari cinta, datang dari welas asih.
Anda lihat, semua ini adalah bagian dari kesadaran (awareness). Nah, perlukah Anda menganalisis seperti yang kita lakukan untuk melihat makna dari kelekatan, beserta segala implikasinya, atau dapatkah Anda mengamati totalitasnya dengan seketika, baru menganalisis kemudian? Bukan sebaliknya.
Kita terbiasa dengan analisis, bagian dari pendidikan kita adalah menganalisis, dan dengan demikian kita menghabiskan banyak waktu untuk itu. Kita menyarankan sesuatu yang lain sekali: mengamati, melihat totalitas, baru menganalisis. Lalu itu menjadi sangat sederhana.
Tetapi jika Anda menganalisis dan mencoba untuk mencapai totalitas, Anda mungkin keliru; biasanya Anda keliru. Tetapi mengamati totalitas dari sesuatu, yang berarti tanpa arah, maka analisis menjadi penting atau tidak penting, Anda boleh menganalisis atau tidak.
Nah, sekarang saya ingin memasuki suatu hal lain dari sini. Adakah sesuatu yang suci di dalam hidup, yang adalah bagian dari semua ini? Adakah sesuatu yang suci dalam hidup Anda? Buanglah kata itu, pisahkan kata, citra, simbol--yang sangat berbahaya--dan bila Anda lakukan itu, bertanyalah kepada diri sendiri, "Adakah sesuatu yang sungguh-sungguh suci dalam hidupku, ataukah segala sesuatu dangkal, segala sesuatu dibentuk oleh pikiran?"
Pikiran tidak suci, bukan? Apakah Anda berpendapat bahwa pikiran dan semua yang dibentuk oleh pikiran itu suci? Kita telah terkondisikan untuk itu; sebagai seorang Hindu, seorang Buddhis, seorang Kristen, kita terkondisi untuk memuja, menjunjung tinggi, berdoa kepada hal-hal yang dibentuk oleh pikiran. Dan itu kita namakan suci.
Kita harus menemukan, oleh karena jika Anda tidak menemukan apakah ada sesuatu yang sungguh-sungguh suci yang tidak dibentuk oleh pikiran, maka hidup menjadi semakin dangkal, semakin mekanis, dan akhir dari hidup kita sama sekali tak bermakna.
Anda tahu, kita begitu melekat kepada berpikir dan seluruh proses berpikir, dan kita memuja hal-hal yang dibentuk oleh pikiran. Suatu citra, suatu simbol, suatu pahatan, entah dibuat dengan tangan entah dengan pikiran, adalah proses pikiran.
Dan pikiran adalah ingatan, pengalaman, pengetahuan, yang adalah masa lampau. Dan masa lampau menjadi tradisi, dan tradisi menjadi hal yang paling suci. Jadi apakah kita memuja tradisi? Adakah sesuatu yang tak ada kaitannya dengan pikiran dan tradisi, dengan ritual, dengan seluruh sirkus yang tengah berlangsung ini?
Kita harus temukan. Bagaimana Anda menemukan? Bukan sebuah metode; bila saya menggunakan kata 'bagaimana’, saya tidak menyiratkan suatu metode. Adakah sesuatu yang suci dalam hidup?
Ada sekelompok besar orang yang berkata, "Sama sekali tidak ada apa-apa. Anda adalah hasil dari lingkungan, dan Anda dapat mengubah lingkungan, jadi jangan bicara tentang sesuatu yang suci. Anda akan menjadi seorang individu yang mekanis dan berbahagia."
Tetapi, jika kita sangat, sangat serius tentang hal ini--dan kita harus sungguh-sungguh secara mendalam serius--Anda tidak masuk dalam suatu kelompok materialis atau kelompok religius, yang juga berdasarkan pikiran. Maka Anda harus menemukan. Anda tidak membuat pernyataan apa-apa. Maka Anda mulai menyelidik.1350000
Nah, apa artinya menyelidik ke dalam diri sendiri untuk menemukan apakah ada sesuatu yang suci secara mendalam dalam kehidupan kita--dalam kehidupan, bukan kehidupan kita--dalam hidup? Adakah sesuatu yang secara menakjubkan, tertinggi, suci? Ataukah tidak ada apa-apa sama sekali?
Perlu untuk memiliki batin yang amat hening, oleh karena hanya di dalam kebebasan itu Anda bisa menemukan. Harus ada kebebasan memandang, tetapi jika Anda berkata, "Yah, saya suka akan kepercayaanku, saya akan berpegang pada itu," Anda tidak bebas.
Atau jika Anda berkata, "Segala sesuatu adalah materialistik," yang adalah gerakan pikiran, maka Anda juga tidak bebas. Jadi untuk mengamati harus ada kebebasan dari paksaan oleh peradaban, keinginan pribadi, harapan pribadi, prasangka, dambaan, ketakutan.
Anda hanya bisa mengamati bila batin hening sempurna. Bisakah batin berada sepenuhnya tanpa tindakan? Oleh karena jika ada gerakan, ada distorsi. Kita menemukan bahwa itu sulit sekali, oleh karena pikiran segera masuk; jadi kita berkata, "Saya harus mengendalikan pikiran."
Tetapi si pengendali adalah yang dikendalikan. Bila Anda melihat itu, bahwa si pemikir adalah pikiran, si pengendali adalah yang dikendalikan, si pengamat adalah yang diamati, maka tidak ada gerakan.
Kita menyadari bahwa marah adalah bagian dari si pengamat yang berkata, "Saya marah," sehingga marah dan si pengamat adalah sama. Itu jelas dan sederhana. Secara itu pula, si pemikir yang ingin mengendalikan pikiran masih pikiran juga. Bila kita menyadari itu, maka gerakan pikiran berhenti.
Bila tidak ada gerakan apa pun di dalam batin, maka secara alamiah batin hening, tanpa upaya, tanpa paksaan, tanpa kehendak. Ia hening secara alamiah; itu bukan keheningan yang dipupuk oleh karena yang itu cuma mekanis, yang bukan keheningan melainkan hanyalah ilusi keheningan.
Jadi ada kebebasan. Kebebasan menyiratkan semua yang telah kita bicarakan, dan dalam kebebasan itu terdapat keheningan, yang berarti tiada gerakan. Maka Anda dapat mengamati--maka ada pengamatan; maka hanya ada pengamatan, tiada si pengamat yang mengamati. Jadi hanya ada pengamatan yang datang dari keheningan total, keheningan batin sepenuhnya. Lalu, apakah yang terjadi?
Jika Anda telah melangkah sejauh itu--yang adalah kebebasan dari keterkondisian kita, dan dengan demikian tiada gerakan, dan hanya keheningan, diam sempurna--maka kecerdasan pun bekerja, bukan?
Melihat hakekat kelekatan, beserta seluruh implikasinya, tercerahkan terhadap semua itu, adalah kecerdasan. Hanya bila Anda sudah sampai ke titik itu, yang berarti bebas, disertai bekerjanya kecerdasan, Anda memiliki batin yang hening, sehat dan waras. Dan di dalam keheningan itu Anda akan menemukan apakah ada sesuatu yang sungguh-sungguh suci, atau tidak ada apa-apa sama sekali.
["Observing from a Quiet Mind" from the public dialogue at Saanen on 1 August 1976 © 1976/1998 Krishnamurti Foundation Trust, Ltd.]
["Mengamati dari Batin yang Hening" adalah bab ke-13 dari buku Krishnamurti, This Light in Oneself: True Meditation, Copyright © 1999 Krishnamurti Foundation Trust, Ltd. ]
get rich
1)
Most of the riches are not born rich, they just have the average IQ
like us, many have arisen from poverty, they create their millions out
of nothing. You can, too, if you know how...
(2)
Many of the 95% people have thought of making money and getting rich,
too. But they fall short of thinking about it "MOST OF THE TIME", they
think of it only "ONCE IN A BLUE MOON"! My personal experience: "Things start happening once we put in serious enough thought and with our belief system!"
(3)
Money is everywhere, it's in abundance, there's never short of money.
However, money is like butterflies, which are tricky and elusive. How
are you going to catch the butterflies? Yes, using a "???", that's
exactly what the 95% people do everyday!
(4)
The reality is: Majority of people are working hard day in and day
out, throughout their life, for the sake of earning enough money to make
their both ends meet. They are trying to make their "Nets" bigger and
bigger in order to catch more butterflies, but that's tiring and
exhausting! Once they stop working, their incomes stop...
(5)
Making money is stressful, tiring & exhausting, too! Many of us
have stripped ourselves off our freedom of choices, willingly or
unwillingly, and trapped in a lifelong situation in exchange for money
to survive through our youthful years until retirement age...
What you're going through now isn't it your choice? If not, then what have you done otherwise...
(6) For the majority of us, the more money we make, the more opportunities we will lose it, the more we are lacking it.
Losing money is not a problem when you don’t have any to lose, but as
you find yourself with excess income, many new opportunities open up.
It’s tempting to spend it excessively in things you don’t really need,
such as buying a new luxurious car, changing a bigger & newer house,
resulting in greater liabilities and in serious debts, ending up
stressing yourself and working forever
to enrich your bankers. Or you may invest in areas where you have
little experience and little idea of the pitfalls ahead: your
confidence exceeds your competence and the money disappears.
So
why are we so busy trying to make money when, after we finally get it,
we’re likely to lose it anyway? Even more frustrating, why is it that
when we look at people who we consider wealthy, no matter how much their
money or business gets taken away from them, it comes right back again?
How can they do it?
(7)
Money does not equal to Wealth. Money is temporary and illusive, it
continues to shrink due to inflation, while Wealth is permanent and
continues to grow due to its compounding power. The majority are having
the wrong perspective about money and wealth. They chase after the
money but fail to build their wealth, they look for instant
gratifications but ignore delayed gratifications! Once they stop chasing
after the money, their incomes stop! Majority are always short of
money.
(8)
Let’s see how the Rich make money. Unlike the majority who are “Money
Chasers”, they build wealth, they are “Wealth Creators”, money is
attracted to them, they don’t need to chase after the money, and they
make money with ease. All the Rich people use “leverage” to build their
wealth, they leverage on other people’s money, efforts and time. Think
about yourself, what “leverage” have you used to pursue after your
wealth? If yes, congratulations to you, you’re on your way. But if
not, how can you get rich?
(9)
The Rich build “Flower Gardens” to attract butterflies; they don’t
build “Nets”. The butterflies will stay permanently and grow in
numbers. The Rich make money effortlessly and in abundance with ease.
Their wealth created are permanent and continues to grow.
(10)
Majority are having the “instant gratification” mentality, they are
short-sighted, they don’t see the future, and their risks awareness is
low.
What you do now will dictate who you’re in the future. If
you’re not satisfied with what you are earning now, you will not be
satisfied with what you are going to earn in the near future, unless you
START taking action right now TO CHANGE for the better!
Look
at what you are doing now and ask yourself, “All this while, am I
chasing money or building my wealth? What should I do now in order to
change for the better for myself and my loved ones?”
Langganan:
Postingan (Atom)