BAGIAN I
Senang-Susah
Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas
dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian
manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau
menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau
dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak
menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah
selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia
mengira atau berpendapat bahwa "jika keinginanku tercapai, tentulah aku
bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku
celaka dan susah selamanya".
Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu
keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan
senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu
keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka,
melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi pendapat
bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak
tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi
setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.
Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat
mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan
mencari pinjaman.Di dalam mencari pinjaman itu ia merasa: "Jika usahaku
untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah aku celaka dan
merasa malu selamanya". Andaikata ia gagal memperoleh pinjaman, ia tidak
akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar. Kemudian
setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak
dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan
janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam
pesta perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan
lega hatinya."Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak
berhasil. Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan
(gelisah) mencari uang untuk membayar hutang itu kembali." Demikianlah,
maka jelaslah bahwa tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang
merasa celaka.
Demikian juga keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa
bahagia. Misalnya orang berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: "Jika si
Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah aku." Dibayangkannya:
"Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan." Tetapi
bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan
sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan kemudian
susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawinan bahwa sesudah
seminggu saja sudah terjadi pertikaian.
Jadi teranglah bahwa jika keinginan itu tercapai maka hal itu tidak
menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan
celaka. Kenyataannya ialah bahwa senang dan susah itu tidak berlangsung
terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak sampai
tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau
mengalami susah selama tiga hari tanpa senang. Pengalaman semacam itu
tidak akan terjadi dan tidak mungkin dapat dialami.
Mulur
Yang menyebabkan senang ialah tercapainya keinginan. Keinginan
tercapai menimbulkan rasa senang, enak, lega, puas, tenang, gembira.
Padahal keinginan ini bila tercapai pasti mulur, memanjang, dalam arti
meningkat. Ini berarti bahwa hal yang diinginkan itu meningkat entah
jumlahnya entah mutunya sehingga tidak dapat tercapai dan hal ini akan
menimbulkan susah. Jadi senang itu tidak dapat berlangsung
terus-menerus.
Misalnya menjelang hari raya orang ingin membeli sarung baru. Kata
hatinya: "Bila aku dapat membeli sarung baru, pasti aku akan bahagia,
yakni tetap senang. Pada hari besar nanti, aku dapat melancong ke
mana-mana." Andaikata sarung baru itu dapat dibelinya ia pun tidak akan
bahagia, melainkan bergembira sebentar kemudian susah lagi. Oleh karena
keinginannya itu mulur, maka ia merasa: "Memang, meskipun sarungnya
sudah baru, ikat kepalanya pun harus baru." Maka ia ingin membeli ikat
kepala, tetapi uangnya tidak cukup, maka gagallah keinginannya dan
susahlah ia. Demikianlah senang tidak berlangsung terus menerus.
Andaikata pun kelak ia dapat membeli sarung dan ikat kepala baru, pasti
keinginannya mulur lagi. Hatinya akan berkata: "Sekarang sarung dan ikat
kepalanya sudah baru, dan bagaimanakah bajunya? Tidakkah harus baru
pula?"
Kemudian bila pakaiannya baru sudah ada, tentu keinginannya mulur
lagi. Sandalnya, arlojinya, kendaraannya, rumahnya harus baru pula. Bila
semua itu sudah ada, pasti keinginannya akan mulur lagi: "Sekarang
semua barang sudah baru, mengapa isterinya masih yang lama saja. Agar
tidak dikatakan aneh maka ia mencari isteri baru." Bila nanti memperoleh
isteri baru, pasti mulur lagi: "Anaknya pun harus ada yang baru karena
mengapa yang ada hanya anak dari isteri lama saja?" Demikianlah
keinginan itu mulur sehingga apabila apa yang diinginkannya tidak dapat
diperolehnya maka susahlah ia. Jelaslah bahwa senang itu tidak tetap
adanya.
Keinginan itu terwujud dalam usaha mencari semat, derajat dan kramat.
Meneari semat ialah mencari kekayaan, keenakan, kesenangan. Mencari
derajat ialah mencari keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan.
Mencari kramat ialah mencari kekuasaan, kepercayaan, agar disegani, agar
dipuja-puji.
Misalnya orang mencari semat/kekayaan agar ia berpenghasilan tetap.
Rasa hatinya berkata: "Jika aku berpenghasilan tiap bulan sepuluh rupiah
saja, aku tentu bahagia. Tidak seperti sekarang ini, kadang-kadang
hanya tiga rupiah, bahkan kadang-kadang juga rugi." Bila usahanya
berhasil, maka dalam kenyataannya ia tidak bahagia, namun hanya senang
sebentar dan kemudian susah lagi. Ini disebabkan karena keinginannya
mulur sebagai berikut: "Ternyata penghasilan sepuluh rupiah ini tidak
membuat aku bahagia. Jika berpenghasilan dua puluh ]ima rupiah, barulah
aku akan benar-benar bahagia." Nanti bila sudah memperoleh dua puluh
lima rupiah keinginan pun mulur lagi. "Kalau aku hanya menerima dua
puluh lima rupiah saja, terang tidak mungkin aku bahagia. Bahkan hal itu
akan menambah banyak hutangnya, karena dipercaya untuk membeli dengan
bon, hingga ke sana ke sini aku membuat bon. Hanya jika aku
berpenghasilan seratus rupiah, baru aku benar-benar bahagia." Nanti bila
ia berhasil memperoleh seratus rupiah keinginannya pun mulur lagi dan
ia ingin dua ratus, tiga ratus rupiah. Sampai berpenghasilan beribu-ribu
rupiah, berjuta-juta rupiah, masih kurang terus. Demikianlah keinginan
itu mulur sampai pada suatu ketika ia tidak mungkin dipenuhi dan oleh
karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu tidak tetap adanya.
Demikian pula dalam usaha mencari kenaikan derajat. Andaikata orang
sudah menjadi asisten wedana, pasti keinginannya mulur dan ia ingin
menjadi wedana. Kemudian setelah menjadi wedana, tentu keinginannya
mulur lagi dan ia ingin menjadi bupati. Sekalipun sudah menjadi raja, ia
kemudian ingin menjadi raja dari semua raja. Andaikata terlaksana
menjadi raja dari semua raja, pasti hatinya berkata. "Ternyata menjadi
raja dari semua raja itu tidak membuat aku bahagia, karena memerintah
manusia itu ternyata bukan main banyak kesulitannya." "Mungkin kalau
menjadi raja jin, barulah aku benar-benar bahagia. Bila sudah menjadi
raja jin, pasti mulur lagi, ingin menjadi raja binatang, kutu, serangga,
yang berupa anjing tanah, kacuak, tokek dan sebagainya. Demikian
mulurnya keinginan sampai apa yang diinginkannya tidak dapat
diperolehnya dan oleh karena itu ia kembali susah lagi. Jadi senang itu
tidak tetap.
Demikian pula dalam usaha memperoleh kramat atau kesaktian. Misalnya
jika orang telah memiliki kesaktian dengan dapat menyembuhkan orang
sakit lumpuh dengan meniupnya saja. Ia belum juga bahagia, melainkan
senang sebentar, kemudian susah lagi, karena mulurnya keinginannya.
Hatinya berkata: "Kalau hanya dapat menyembuhkan orang lumpuh dengan
meniupnya saja, aku tidak berbahagia. Akan tetapi kalau dapat
menghidupkan orang mati, aku tentu bahagia, karena siapapun akan
percaya, segan, takut kepadaku dan akan memujaku." la akan berusaha ke
sana sini untuk dapat menghidupkan orang mati. PadahaI sekolahnya untuk
mempelajarinya tidak ada. Andaikata ia pun berhasil, setelah dapat
menghidupkan dua orang saja, maka timbul kekhawatirannya. "Celakalah aku
nanti. Jika setiap orang mati kuhidupkan kembali. Mayat-mayat dari
mana-mana pasti akan dibawa kemari semua, dan aku disuruh
menghidupkannya. Halaman rumahku pasti akan penuh dengan bangkai anjing,
babi hutan dan lain-lain. Mungkin kalau aku dapat mengeluarkan sukma
dari badan, aku baru benar-benar bahagia. Aku akan dapat melayang-layang
mengelilingi dunia melihat negeri Belanda, negeri Cina, tanpa melakukan
perjalanan, tanpa susah payah, lagi pula tidak kehilangan uang untuk
bekalnya." Ia akan ke sana ke sini berusaha keras supaya bisa melepaskan
sukmanya dari badannya, sedangkan sekolah untuk mempelajarinya belum
ada. Andaikata ia berhasil melepaskan sukmanya dari raganya, ia pun
tidak akan benar-benar bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian
susah lagi. Hatinya berkata "Susahlah aku bila sukma yang acapkali
dilepas itu sampai tidak dapat kembali lagi ke tempat asalnya. Namun
manakala aku bisa menghilang, pastilah aku betul-betul bahagia. Aku akan
dapat menggaruk uang di pasar-pasar tanpa diketahui pemiliknya, dan
tiap kata ada orang sedang menghitung uang, uang itu kuambil. Dengan
tidak usah bekerja, aku dapat memiliki banyak uang, dan apa pun
kuhendaki pastilah tercapai".
Bila ia kemudian berhasil dapat menghilang, tentu keinginannya mulur
lagi, sehingga ia ingin bisa terbang, bisa menembus bumi dan seterusnya.
Demikianlah mulurnya keinginannya sampai apa yang diinginkannya tidak
dapat ia peroleh, maka susahlah ia. Jadi jelaslah bahwa lahirnya
keinginan dalam usaha mencapai semat (kekayaan), derajat (kedudukan),
kramat (kekuasaanl, apabila sudah terlaksana pasti akan mulur. Maka
senang itu tidak tetap sifatnya.
Mungkret (menyusut)
Demikian pula rasa susah pun tidak tetap. Karena susah itu disebabkan
tidak tercapainya keinginan yang berwujud rasa tidak enak, menyesal,
kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan sebagainya.
Padahal keinginan itu bila tidak tercapai pasti mungkret (menyusut),
dalam arti bahwa apa yang diinginkan itu berkurang baik dalarm jumlah
maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang.
Jadi rasa susah itu tidak tetap.
Bila keinginan yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti ia akan
mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila dapat
terpenuhi keinginan itu. Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada
atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu terpenuhi dan timbullah
rasa senang. Maka susah itu tidak tetap adanya.
Misalnya orang lapar ingin makan, tentu dipiiihnya lauk-pauk yang
serba lezat, seperti daging, telur dan sebagainya. Tetapi bila
keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pasti mungkret, sehingga makan nasi
dengan garam saja ia sudah senang. Bila nasi dengan garam pun tidak
diperolehnya pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga makan ketela
bakar saja ia sudah girang. Bila ketela bakar pun tidak ia peroleh,
pasti keinginannya mungkret lagi, sehingga dengan diteguknya air saja,
cukup sejuklah lidahnya.
Contoh yang makin jelas lagi ialah bila seorang laki-laki ingin
mempunyai seorang isteri, maka dipilihnya tentu yang cantik, masih
perawan, kaya, keturunan priyayi, cerdas, berbakti, cermat, cinta suami
dan seterusnya. Bila keinginan-keinginannya itu tidak terpenuhi, ia pun
tidak benar-benar celaka, melainkan susah sebentar, kemudian senang
kembali. Oleh karena keinginannya mungkret, maka rasanya, "Walaupun
syarat pilihanku tidak terpenuhi semua, asal saja cantik wajahnya
bolehlah" Jika yang cantik pun tidak diperolehnya, tentu keinginannya
mungkret lagi: "Walaupun tidak cantik asal saja masih perawan" Bila ini
pun tidak berhasil, mungkret lagi keinginannya "Walaupun seorang janda
asal saja belum punya anak." Bila pilihan ini masih juga gagal, pasti
keinginannya mungkret lagi: "Walaupun banyak anaknya, asalkan saja ia
sehat" Bila keinginan ini pun tidak terpenuhi, pasti mungkret lagi
keinginannya: "Walaupun cacad, asalkan berwujud orang" Padahal mencari
isteri dengan syarat asal berwujud orang saja, pastilah tidak sukar,
maka ia lalu merasa senang lagi. Dari sebab itulah penderita-penderita
cacad, baik laki-laki atau perempuan, banyak yang bersuami/isteri. Sebab
satu sama lain berjumpa dalam keadaan sama mungkret keinginannya.
Demikianlah menyusutnya keinginan sampai apa yang diinginkan itu
tercapai, maka timbullah rasa senang. Maka susah itu tidak tetap.
Jadi jelaslah bahwa senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang
itu disebabkan karena keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai
ini mesti mulur sehingga yang diinginkan tidak mungkin tercapai, maka
timbullah rasa susah. Kesusahan itu disebabkan karena keinginan tidak
tercapai, padahal keinginan yang tidak tercapai ini mesti mungkret
sehingga apa yang diinginkan itu mungkin tercapai, maka akan tercapailah
keinginan itu dan rasa senang timbul, jadi keinginan itu bila mungkret
akan mencapai apa yang diinginkan maka timbullah rasa senang, dan
keinginan itu mulur. Mulur ini berlangsung sehingga tidak tercapai apa
yang diinginkan maka timbul rasa susah dan keinginan itu mungkret.
Mungkret, tercapai, senang, mulur lagi. Mulur, tidak tereapai, susah,
mungkret lagi. Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar
mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda hingga tua, pasti bersifat
sebentar senang sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
---
BAGIAN II
Rasa Sama
Manusia itu mempunyai keinginan, yang bersifat sebentar mulur,
sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Sifat ini yang
menyebabkan rasa hidup orang sejak kecil sampai tua, pasti bersifat
sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Siapa
saja dan di mana saja rasa hidup orang tentu bersifat sebentar senang,
sebentar susah, karena semuanya mempunyai keinginan. Jika tidak
mempunyai keinginan, maka ia bukanlah manusia, dan tiap keinginan pasti
bersifat seperti di atas tadi.
Jadi rasa hidup manusia sedunia ini sama saja, yakni pasti sebentar
senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah. Sekalipun orang
kaya, miskin, raja, kuli, wali (aulia), bajingan, rasa hidupnya sama
saja, ialah sebentar senang, sebentar susah. Yang sama adalah rasanya
senang-susah, lama-cepatnya, berat-ringannya. Sedang yang berbeda adalah
halnya yang disenangi/disusahi.
Umpama orang kaya senang dapat mendirikan pabrik dan orang miskin
senang dapat mendirikan kendil (periuk nasi). Kesenangan kedua orang
tadi pada hakekatnya sama. Seorang raja merasa senang bahwa ia dapat
menyerbu sebuah kota lawannya, dan memboyong (membawa pulang) puteri.
Sedangkan seorang kuli kereta-api merasa senang bila dapat menjelajahi
gerbong-gerbong dan memboyong (mengangkat-angkat) koper. Kedua orang itu
sama di dalam merasa senang. Seorang wali (orang sakti) merasa senang
bila dapat terbang di angkasa, sedangkan seorang bajingan merasa senang
pula dapat mencopet barang, kedua-duanya sama di dalam merasa senang.
Tetapi seorang miskin sering beranggapan bahwa orang kaya itu tidak
pernah susah. Anggapan demikian itu keliru, sebab diri orang kaya pun
berisi keinginan yang bila tercapai pasti mulur. Misalnya seorang kaya
raya, memiliki perusahaan kendaraan bis. Walaupun sudah mempunyai
beratus-ratus bis, keinginannya tentu mulur. Ia tentu ingin mempunyai
kereta api. Setelah mempunyai kereta api, pasti keinginannya mulur lagi,
ia ingin mempunyai kapal laut. Sebelum keinginan mempunyai kapal laut
tercapai, tiba-tiba ia menghadapi masalah berdirinya perusahaan bis baru
sehingga ia merasa susah karena khawatir kalau disaingi. Maka orang
kaya bagaimanapun, rasa hidupnya tentu sebentar senang, sebentar susah,
sebentar senang, sebentar susah.
Demikian pula seorang wali (aulia) sering dikira tidak pernah susah.
Perkiraan demikian itu keliru, karena wali pun berisikan keinginan.
Misalnya seorang wali yang sakti, seperti dalam dongengnya Sinuhun
Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Ia raja dan juga wali dan ketika ia
hendak pergi ke Banten dengan jalan terbang, dan itu terlaksana, maka
senanglah ia. Tetapi ketika hendak pulang ke Mataram, juru tamannya
meninggalkannya, maka rontoklah bulu sayapnya, hingga susahlah ia. Jika
wali yang bagaimana pun, rasa hidupnya pasti sebentar senang, sebentar
susah. Apabila mengerti bahwa rasa orang di dunia sama saja, yakni
sebentar senang, sebentar susah, bebaslah kita dari penderitaan neraka
iri hati dan kesombongan.
Iri dan Sombong
Iri adalah merasa kalah terhadap orang lain, dan sombong adalah
merasa menang terhadap orang lain. Iri dan sombong inilah yang
menyebabkan orang berusaha keras, mati-matian, berjungkir balik, untuk
memperoleh semat (kekayaan), derajat (kedudukan) dan kramat (kekuasaan).
Hatinya berkata: "Sebaiknya kucari uang sebanyak-banyaknya agar menjadi
kaya seperti orang itu, dan jangan sampai miskin seperti orang ini;
agar bisa mengejek orang ini dan jangan sampai diejek orang itu. Dan
kuharus memperoleh derajat yang luhur, supaya mulia seperti orang itu,
dan jangan sampai hina seperti orang ini, sehingga terhormat seperti
orang itu, dan tidak diremehkan seperti orang ini. Harus kucari kramat
(kekuasaan) yang besar, supaya berkuasa dan dapat menaklukkan orang itu.
Jangan sampai lemah dan ditaklukkan orang ini." Begitu hebat usahanya,
hingga ia merasa "lebih baik mati jika tidak tercapai"
Perasaan "lebih baik mati jika tidak tercapai" itu bila sering
terlintas dalam pikiran, dapat membangunkan tekad yang aneh-aneh dan
bertapa yang aneh-aneh. Orang yang sedang dihinggapi iri-sombong ini
cenderung mencari guru-guru atau dukun-dukun. Pada guru atau dukun itu
dimintanya petunjuk: "Bagaimana kyai, hidupku ini mengapa senantiasa
susah. Apakah memang nasibku harus dibenci orang? Bagaimana baiknya?"
Jika guru atau dukun itu mengatakan: "Sanggupkah anda bertapa secara
ditanam selama empat puluh hari? Itu memang berat tetapi bila
dikurniakan, tentu nasibmu akan lebih baik." Makin gelap pikirannya
namun karena terbenam dalam rasa iri-sombong, ia akan menyanggupinya:
"Baiklah saya bersedia ditanam, asal dapat kurnia. Andaikata aku gagal
dan mati, itu pun justru lebih baik dari pada hidup sekali saja menjadi
buah ejekan tetangga-tetangga, kesana diejek, kesini diejek." Bilamana
benar-benar digali lobang untuknya dan ia memeriksanya serta menengok ke
kanan ke kiri, tiba-tiba ia merasa ngeri: "Kyai, jika penguburan diriku
ditangguhkan saja sampai setelah tanggal dua saja, bagaimana?"
Bila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia itu sama, teranglah
pandangannya. Kemudian ia tahu bahwa orang yang ditanam selama empat
puluh hari, pasti akan mati karena tidak dapat bernapas. Mengingat bahwa
jika dibungkam selama dua menit saja, orang sudah kehabisan napas,
bagaimanakah bila ditanam empat puluh hari?
Idam-idaman orang yang iri hati atau sombong ialah asal dapat
melebihi orang lain dalam segala hal. Dalam hal makanan, pakaian,
perumahan, keluarga, anak-anak dan sebagainya, ia ingin melebihi orang
lain. Sedangkan orang-orang lain pun ingin menyaingi atau melebihi orang
lain lagi. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dijangkiti
iri-sombong, tindakannya hanyalah satu sama lain bersaingan sehingga
semuanya jatuh ke bawah.
Bila dalam usahanya untuk melampaui orang lain ia sering tergelincir
bahkan ia justru dilampaui orang lain, maka kesallah hatinya, "Baik,
sekalipun aku kalah asal saja tetanggaku itu hidupnya merana, maka
senanglah hatiku." Sedangkan tetangganya pun berusaha menyusahkan orang
lain. Dari itu beribu-ribu, berjuta-juta manusia bila dijangkiti
iri-sombong, tindakannya hanyalah saling menyusahkan.
Bila dalam usahanya menyusahkan orang lain, sering berbalik
menyusahkan diri sendiri maka ia masih tinggal dapat mengumpat orang
lain. Sedangkan orang lain pun mengumpat orang lain lagi. Maka
beribu-ribu, berjuta-juta manusia, bila dihinggapi iri-sombong,
tindakannya hanya saling mengumpat. Bahkan tiap kali bercakap-cakap
dengan suami/isterinya tidak lain hanya menjelekkan tetangganya, sampai
pada soal yang kecil-kecil, misalnya: "Sesungguhnya si anu itu kan sudah
payah betul. Lihat saja surat gadainya sudah daluwarsa; pohon-pohon
kelapanya sudah digadaikan dan ia hanya kebagian yang hanya cukup untuk
dimakannya sendiri."
Padahal untuk melebihi seseorang saja sudah susah-payah, memaksakan
diri bertirakat sampai luar-batas, Nglawet (nama tempat bertapa), Gua
Langse (di pantai Parangtritis, Yogya) dan Gedancer (tempat bertapa).
Bila ia telah dapat melebihi seseorang, ia akan melihat bahwa ada orang
lain lagi yang melebihinya. Sedangkan jumlah orang yang melebihinya
tidak terhitung banyaknya.
Apalagi untuk melebihi orang lain dalam hal perincian, pastilah tidak
akan berhasil, sekalipun sudah bertirakat segala. Misalnya orang
melebihi orang Iain dalam kekayaannya, tetapi kalah dalam kedudukannya,
lalu berusaha keras untuk melebihi kedudukannya. Kalau sudah melebihi
kedudukannya, tetapi kalah kekuasaannya, ia akan berusaha keras untuk
melebihi kekuasaannya. Kalau sudah melebihi kekuasaannya, tetapi kalah
tampan wajahnya, ia akan berusaha keras untuk melebihi ketampanannya.
Misalkan ia sudah menang dalam hal ketampanan wajahnya, tetapi kalah
muda dalam usia, ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih muda
tampaknya. Karena dalam janggrungan, pesta dengan tarian dimana penari
wanita menari bersama dengan tamu laki-laki, orang-orang muda
dipersilakan masuk gelanggang untuk menari lebih dulu. Akan tetapi bila
ia lebih muda ia pun berusaha keras untuk membuat dirinya lebih tua,
karena orang-orang tua itu dalam pesta-pesta makan selalu dipilihkan
makanan yang serba empuk.
Perasaan orang yang irihati-sombong ini, tiap kali menyumpahi orang,
jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Bila melebihi, dalam hatinya
mengejek, "Lihat si Anu itu akhirnya celaka, karena tidak mau percaya
padaku, tidak mau meniru jejakku, tentu saja celaka." Tetapi bila
diungguli ia merasa penasaran: "Tidak heran si Anu itu kaya, karena
bukan main kikirnya. Bila ia buang air kedapatan kacang kedele dalam
kotorannya, maka kedele itu dikorekinya dari kotorannya."
Padahal tiap kali orang ke luar rumah pasti ia bertemu orang yang
jika tidak melebihi tentu dilebihinya. Maka hidup orang sedari kecil
sehingga tua, bila dihinggapi iri-sombong, hanya merasa mengejek dan
diejek orang.
Jika orang hendak mengetahui rasa iri-sombong atau lebihnya sendiri,
yang jelas dalam pergaulan, maka hal itu dapat ia jalankan bila sedang
nonton pasar malam, menghadiri pesta perjamuan dan sebagainya. Bila di
situ orang merasa kalah baik sarungnya ia akan meraba-raba ikat
kepalanya dan berkata: "Ikat kepalaku lebih baru." Bila ikat kepalanya
dirasakannya masih kalah, diangkatlah dadanya dan diperlihatkan bajunya
"Bajuku memang baik." Bila ia merasa kalah, diangkatlah sarungnya dan
diperlihatkan celana dalamnya, "Celanaku menang lebar." Bila toh masih
merasa kalah, jengkellah ia, maka dikeluarkan pipanya, "Tetapi pipaku
menang panjang."
Pandangan orang yang iri-sombong terhadap semua keadaan dan kejadian
di dunia, terbalik-balik, tidak benar. Misalkan orang ingin memiliki
sepeda, dari kerasnya keinginannya ia merasa "Benar-benar aku menderita
bila tidak memiliki sepeda, kalau barang-barang lainnya tidak
kuhiraukan." Maka jika dijumpainya seorang mengendarai sepeda, apalagi
jika pengendara itu tetangganya yang dibencinya dan hendak dilebihinya,
dan justru dirinya kini jatuh dikalahkan maka begitu ia mendengar suara
"kring" bel sepeda itu, terkejutlah ia serentak. Pulang rumah dengan
gelisah tidak bisa tidur, hatinya penasaran dan dijelekkannya lawannya,
"Tidak heran si Anu itu memiliki sepeda, karena hidupnya tidak lumrah
(lazim), bermuka tebal. Lain dengan aku ini yang tidak tega hati
menyikut orang." Demikian pandangan orang terbalik-balik disebabkan rasa
iri-sombong. Benarkah orang mengendarai sepeda itu sengaja membuatnya
terkejut, gelisah? Tentu tidak!
Dari sangat hebatnya pandangan terbalik-balik itu sehingga membikin
orang, sehabis memandang perempuan cantik atau laki-laki tampan, maka
membenci suami/isterinya. Hatinya mengomel, "Bila kurasakan,
suami/isteriku ini memang sungguh-sungguh jelek, ya rupanya, ya jelek
hatinya. Kalau sampai menjadi jodohku ini pasti tidak melalui jalan
sewajarnya. Dulunya pasti aku diguna-guna sehingga aku terpikat
kepadanya." Demikianlah terbalik-baliknya pandangan orang yang
iri-sombong. Padahal wanita cantik atau laki-laki tampan pastilah tidak
sengaja membikin ia benci pada suami/isterinya.
Tenteram
Apabila orang mengerti bahwa rasa orang sedunia sama saja, bebaslah
ia dari penderitaan neraka irihati-sombong, kemudian bisa masuk sorga
ketenteraman. Artinya dalam segala hal bertindak seenaknya, sebutuhnya,
seperlunya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya. Ia akan dapat
merasakan rasa hidup yang sebenar-benarnya, yaitu mesti sebentar senang,
sebentar susah, sebentar senang, sebentar susah.
Sebab ketika dihinggapi iri-sombong, orang tidak dapat merasakan rasa
hidup yang sebenarnya. Dalam hal makan misalnya, walaupun setiap hari
makan, orang tidak merasakan makanannya, tetapi yang dirasakan hanyalah
makanan tetangga-tetangganya. Kemudian mengeluhlah ia, "Kalau si Anu itu
memang senang hidupnya, makannya terjamin tiga kali sehari, sepiring
penuh, lauk-pauknya enak-enak; berganti-ganti telur daging. Lain dengan
diriku ini serba celaka, makannya tidak menentu, lauk-pauknya tidak lain
tidak hanya garam sambel, paling mujur tempe. Bila ingin daging ayam,
hanya mendapat pekerjaan membubuti (mencabuti) bulunya dan membersihkan
isi perutnya."
Bilamana bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk ke dalam
sorga ketenteraman, ia akan dapat menasihati dirinya sebagai berikut,
"Lho, bagaimana ini, orang mau makan kok menggerutu. Makannya enak atau
tidak, jika enak teruskanlah, jika tidak enak hentikanlah." Teranglah
pandangannya, maka mengerti mgksud tujuan orang makan yaitu enak (lezat)
dan kenyang. Maksud tujuan ini sudah tercapai, karena tiap kali merasa
Iapar, makanlah segala apa yang lazim dimakan orang, maka pasti enak,
dan kalau banyak jumlahnya pasti kenyang. Maka tenaga kaki-tangan
berkelebihan untuk mencari makanan yang enak serta mengenyangkan itu.
Jadi rasa hidup yang sebenarnya sebentar senang, sebentar susah,
dalam hal makan pasti sebentar enak, sebentar tidak enak, sebentar
kenyang, sebentar lapar. Tetapi bila dihinggapi iri-sombong, orang tidak
memperdulikan enak atau kenyang, melainkan berusaha melebihi orang
lain. Jika hendak mengetahui iri-sombong atau keinginannya sendiri untuk
melebihi orang lain, yang jelas bila kebetulan sedang bersama orang
banyak dalam kedai makanan. Baru saja datang orang segera berteriak
"Godog!" (minta direbuskan suatu makanan). Kemudian baru saja masakan
tadi disodorkan, ia sudah minta lagi "Goreng! Cabenya biar banyak!" Bila
dilihatnya tamu lain memegang telur, ia pun mengambil ayam goreng,
dipegangnya dengan kedua tangannya. Jika toh masih merasa kalah, hatinya
penasaran diangkat kakinya keatas meja sembari bersiul, sekalipun tidak
bersuara.
Oleh karena dihinggapi iri-sombong sehingga gelap pandangannya, maka
walaupun sudah beranak-cucu, orang tidak dapat merasakan rasa
bersuami/isteri. Setiap kali menjumpai suami/isterinya, yang dirasakan
suami/isteri orang lain, "Si Anu itu hidupnya memang enak lantaran
mempunyai suami/isteri yang menyenangkan, perhatiannya besar, lagi
setia. Lain dengan diriku ini serba celaka, mempunyai suami/isteri rewel
sekali, sedikit-dikit marah, sedikit-dikit marah."
Bila sudah bebas dari siksaan neraka iri-sombong dan masuk sorga
ketenteraman, orang lalu dapat menasihati dirinya: "O, bagaimana ini,
orang bersuami/isteri kok mengomel. Sesungguhnya perkawinannya enak atau
tidak, jika enak diteruskan, jika tidak enak ya diceraikan saja." Maka
tenanglah pandangannya dan mengerti bahwa rasa bersuami/isteri itu
nikmat.
Bila ingin mengerti kenikmatan bersuami/isteri, ialah pada waktu
malam hari udara dingin, lagi turun hujan, berdesak-desak dengan
suami/isteri pun hangat. Bila pinggangnya kaku pun lantas lemas,
tidurnya pulas, bangun pagi merasa segar, bekerja penuh semangat.
Kebalikannya jika tidak bersuami/isteri tidak demikian nikmat. Pada
malam yang dingin, apalagi turun hujan, badannya benar-benar dingin.
berdesak-desak hanya dengan balai-balai, pinggangnya kaku tetap kaku,
ingin tidur tidak dapat memejamkan mata, dari pukul sembilan hingga
pukul tiga malam belum juga pulas karena memikirkan suami/isteri orang
lain. Maka pada duda, janda, jejaka, gadis, bila dijangkiti iri-sombong,
seringkali betah bergadang. Tetapi bila tidak, hanyalah sekali tempo
saja.
Jadi rasa hidup yang sebenarnya ialah mesti sebentar senang, sebentar
susah, sebentar senang, sebentar susah. Dalam perkawinan tentu sebentar
nikmat, sebentar tidak nikmat, sebentar nikmat, sebentar tidak nikmat.
Bila keluar dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman, orang
akan bebas dari kewajiban yang berat-berat. Kebiasaan orang itu
mewajibkan dirinya sendiri: "Orang hidup itu harus begini, makannya
harus begini, pakaiannya harus begini, rumahnya harus begini, tindak
tanduk terhadap tetangga, suami/isteri serta anak-anaknya harus begini."
Semua keharusan-keharusan itu adalah hal-hal yang berat sehingga tidak
dapat dilaksanakan, karena bertentangan antara kewajiban yang satu
dengan kewajiban yang lain.
Sebagai contoh, misalnya orang menerima undangan dari tetangganya
yang punya hajat pesta mengawinkan anaknya. Ia akan mewajibkan dirinya
untuk datang hadir dengan pakaian baru, serta membawa uang cukup untuk
menyumbang dan main kartu domino. Tetapi keadaannya tidak
memungkinkannya untuk mempunyai pakaian baru dan uang, oleh karena itu
ia merasa susah. Hendak datang hadir takut, dan hendak tidak hadir pun
takut.
Bila lepas dari neraka iri-sombong dan masuk surga ketenteraman ia
akan dapat menasihati dirinya "Lho, bagaimana langkahku ini, mau datang
takut, mau tidak datang pun takut. Apakah harus setengah datang dan
setengah tidak datang? Lalu bagaimana wujud tindakan setengah datang dan
setengah tidak datang itu? Apakah melongok-longok di depan pagar saja,
ataukah terus menerobos masuk ke dapur, membantu cuci piring?" Dengan
kesadaran di atas, pandangannya semakin terang: "Sudahlah, jika mau
datang, ya datang saja, jika tidak mau datang, ya tidak usah datang.
BiIa tidak punya pakaian baru, pakailah pakaian lama, hal itu sudah
sebenarnya. Bila tidak punya uang, maka tidak dapat menyumbang dan main
domino, pun sudah selayaknya." Jadi rasa hidup yang benar adalah
sebentar senang, sebentar susah, yang dalam hal menentukan kewajiban
mesti suatu waktu begini, suatu waktu tidak begini.
Bila orang mengerti bahwa rasa hidup manusia sedunia sama saja, yakni
pasti sebentar senang, sebentar susah, bebaslah ia dari neraka
iri-sombong dan masuklah dalam surga ketenteraman. Kemudian dalam
usahanya mencari kekayaan, kedudukan, kekuasaan, dengan cara seenaknya,
sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, semestinya, sebenarnya, yaitu hidup
tenteram.
---
BAGIAN III
Rasa Abadi
Keinginan itu bersifat sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar
mulur, sebentar mungkret, rasanya sebentar senang, sebentar susah,
sebentar senang, sebentar susah. Pada hakekatnya keinginan itu langgeng
(abadi), artinya sejak dulu sudah ada, kini pun ada, kelak pun selalu
ada.
Ketika orang masih dalam kandungan ibunya, keinginannya sudah ada,
walaupun tidak disadarinya. Seperti halnya bayi menangis berkeinginan
menyusu, Ketika masih sebagai darah pun sudah tumbuh keinginan yang
menumbuhkan badan, kepala, tubuh, tangan, kaki dan sebagainya. Ketika
belum ada dalam kandungan dan masih ada pada ayah dan ibunya pada waktu
ayah dan ibunya saling mengungkapkan rasa suka sama suka, hal itu
merupakan gejala keinginan manusia yang hendak lahir.
Demikian keinginan itu tidak berawal, ketika bumi dan langit belum
ada, keinginan sudah ada. Demikian pula keinginan tidak berakhir, bila
nanti orang sudah mati, badannya rusak, busuk, keinginan masih ada saja.
Bila nanti bumi dan langit tidak ada, keinginan masih tetap ada. Jadi
keinginan itu tanpa awal dan tanpa akhir. Oleh karenanya keinginan itu
abadi, Sebab keinginan itu barang asal. Barang asal itu tidak ada
asalnya, tetapi justru berupa asal, dari itu abadi. Keinginan ialah asal
dari pada hidup, benih hidup, yang menyebabkan hidup, oleh karenanya
abadi.
Seperti juga asal semua barang jadi itu bersifat abadi. Wujud barang
jadi (bahasa Jawa: dumadi) itu seperti rokok, korek api, cangkir,
piring, rumah, dunia, bintang, bulan, matahari dan sebagainya. Asal
barang jadi misalnya rokok, adalah abadi, tidak berubah tidak berkurang
atau bertambah. Bila rokok itu dibakar, rokok itu hanya menjadi abu;
sedang asal dari pada rokok masih tetap ada, tidak kurang, hanya
wujudnya kini abu. Bila abu itu nanti ditumbuk, hanyalah menjadi
tumbukan abu, sedang asal rokok masih tetap, tidak kurang tidak lebih,
yang kini berwujud tumbukan abu. Sekalipun tumbukan abu ini nanti
dibuang ke luar dunia, asal rokok itu masih tetap ada tidak kurang tidak
lebih, hanya kini ada di luar dunia.
Demikian pula keinginan, bagaimanapun dihancurkannya melalui
kesusahan, penderitaan malu, tidak akan berubah bersama sifat-sifatnya.
Sebab barang abadi itu pasti bersifat abadi pula. Keinginan itu bersifat
sebentar mulur sebentar mungkret, sebentar mulur sebentar mungkret dan
rasanya sebentar senang sebentar susah, sebentar senang sebentar susah.
Sedang rasa manusia pun sebentar senang sebentar susah, sebentar senang
sebentar susah. Jadi keinginan itu adalah manusia, maka manusia itu
abadi (lestari), sebentar senang sebentar susah. Bila keabadian manusia
ini dimengerti, orang akan bebas dari penderitaan neraka penyesalan dan
kekhawatiran.
Sesal - Kuatir
Menyesal ialah takut akan pengalaman yang telah dialami. Khawatir
ialah takut akan pengalaman yang belum dialami. Menyesal dan khawatir
ini yang menyebabkan orang bersedih hati, prihatin, hingga merasa
celaka.
Menyesal ini rasanya: "Andaikata dulu aku bertindak demikian,
bahagialah sudah aku ini, tidaklah celaka begini." Menyesal ini ialah
takut akan pengalaman masa lampau yang menyebabkannya jatuh celaka,
susah selamanya dalam keadaan miskin, hina, lemah.
Bila orang mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia menasehati
dirinya sebagai berikut: "Walaupun dulu bagaimana saja, pasti rasanya
sebentar senang sebentar susah." Kemudian lenyap penyesalan semacam
tadi. Tetapi jika tidak dimengerti, penyesalan itu berlarut-larut hingga
takut akan hal yang aneh-aneh, seperti takut terkutuk, takut durhaka,
rasanya: "Dulu andaikata aku tidak terkutuk oleh si Anu, tidak durhaka,
tentu aku sudah bahagia dan tidak celaka." Kalau mengerti maka orang
dapat menyadari, "Walaupun dulu terkutuk durhaka atau tidak durhaka,
rasanya tentu sebentar senang sebentar susah," dan lenyaplah penyesalan
semacam itu tadi.
Berlarut-larutnya penyesalan ini sampai menimbulkan ketakutan pada
hal yang makin aneh ialah takut hidupnya tersesat. "Andaikata dulu tidak
menjadi anak ibu dan ayah ini, pasti aku bahagia, dan tidak celaka
seperti ini." Tetapi bila mengerti babwa manusia itu abadi, ia dapat
menasehati dirinya sendiri: "Walaupun dulu menjadi anak ibu-ayah ini
atau tidak, tentu rasanya sebentar senang sebentar susah", maka
lenyaplah penyesalan tadi.
Ketakutan hidup tersesat di atas perinciannya sampai pada takut
tersesat mempunyai suami/isteri dan anak si Anu, rasanya: "Andaikata
dulu aku tidak salah memperoleh suami/isteri dan anak si kunyuk (si
dogol) itu, pastilah aku bahagia dan tidaklah celaka." Tetapi bila ia
mengerti bahwa orang itu abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya:
"Walaupun dulu aku mempunyai suami/isteri dan anak seperti kunyuk-kunyuk
itu atau tidak, rasaku tentu sebentar senang, sebentar susah," maka
lenyaplah penyesalan tadi.
Demikian pula kekhawatiran yang berupa takut akan pengalaman yang
belum dialami, kalau-kalau jatuh celaka, susah selamanya, dalam keadaan
miskin, hina, lemah. Rasanya: "Bagaimanakah nanti akhirnya bila aku
tidak mencapai kebahagiaan yang kucita-citakan, tetapi tetap celaka
seperti sekarang ini?" Tetapi jika orang mengerti bahwa manusia itu
abadi, dapatlah ia menyadarkan dirinya: "Walaupun kelak akan terjadi apa
saja, misalkan bumi dan langit merapat, rasanya pasti sebentar senang
sebentar susah," maka lenyaplah kekhawatiran tadi.
Jika tidak dimengerti, kekhawatiran itu berlarut-larut sehingga takut
akan hal yang aneh-aneh seperti takut kuwalat, takut durhaka. Padahal
apakah kuwalat dan durhaka itu saja tidak dimengerti. Namun ditakuti
juga, aneh bukan? Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah
ia menyadarkan dirinya: "Mana ada orang kuwalat atau durhaka? Kalau toh
ada, rasanya pasti hanya sebentar senang sebentar susah. Katanya orang
kuwalat itu kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Kalau begitu malah
bisa merasakannya. Sebab yang sudah dialami berpuluh-puluh tahun hidup
dengan kepala di atas dan kaki di bawah ternyata tidak enak. Seperti
pada waktu cekcok dengan suami/isterinya atau tetangganya. Lihatlah
orang-orang dengan kepala di atas, kaki di bawah itu." Dan lenyaplah
kekhawatiran di atas tadi.
Berlarut-larutnya kekhawatiran itu sehingga takut akan hal yang
semakin aneh seperti mati tersesat. Alangkah anehnya orang mati bisa
tersesat. Tetapi bila mengerti bahwa manusia itu abadi, dapatlah ia
menasehati dirinya: "Bagaimana mungkin orang mati itu tersesat. Kalau
tersesat tentu ke arah hidup yang pernah dialami ini. Lagi pula jika ada
mati tersesat tentu ada pula hidup tersesat. Padahal ketika hendak
hidup tanpa bertanya kepada siapa pun, tanpa bekal apa-apa, ia menjelma
tepat dengan hidung di atas mulut, kuping di kedua sisi, kepala di atas,
kaki di bawah dan sebagainya, melalui jalan yang benar." Kemudian
lenyaplah kekhawatiran yang aneh tadi.
Khawatir takut mati tersesat ini perinciannya hingga takut setelah
mati akan menjelma sebagai babi-hutan. Alangkah anehnya! Tetapi bila
mengerti bahwa manusia itu abadi, orang dapat menasehati dirinya:
"Bagaimanakah orang mati dapat menjelma menjadi babi-hutan. Andaikatapun
benar, maka orang justru dapat merasakan bagaimana hidup sebagai
babi-hutan. Pasti hanya berdengus-dengus mencari ubi. Dan pastilah tidak
takut dihentikan dari pekerjaan, melainkan takut di semak-semak hutan.
Sedangkan yang dialami berpuluh-puluh tahun hidup sebagai manusia pun
tidak enak. Misalnya ketika mencari pinjaman tidak berhasil, atau
ditagih hutangnya tidak sanggup membayarnya. Enakkah hidup sebagai
orang?" Kemudian lenyaplah kekhawatiran tadi.
Menyesal dan khawatir ini mengandung anggapan atau pendapat bahwa
orang itu dapat memperoleh senang atau susah yang abadi. Maka dengan
dikejar secara mati-matian rasa senang itu dan ditolaknya secara
mati-matian rasa susah itu, menimbulkan ketahayulan pada dirinya yang
mengakibatkan penderitaan. Tahayul itu ialah menghubung-hubungkan sebab
dan akibat yang tidak ada sangkut-pautnya. Sebagai contoh, misalnya
orang berdagang sedang sial, tidak berani dagang, maka berkatalah:
"Kesialan ini tentu lantaran aku tidak membakar kemenyan dan tidak
bersembahyang pada malam menjelang hari Jumat yang lalu, sehingga
daganganku tidak laku." Jelaslah membakar kemenyan dan bersembahyang itu
tidak ada sangkut paut dengan kesialan dagangan tidak laku. Namun orang
yang bertahayul itu menghubung-hubungkan juga.
Contoh lain yang lebih jelas, misalnya seorang anak tengah bermain,
tiba-tiba sakit kejang-kejang, maka orang berkata: "Anak itu pasti
dijegal oleh syaitan penunggu jalan perempatan itu, oleh karena itu
kejang-kejang badannya." Padahal jelas anak sakit kejang tidak
bersangkut-paut dengan syaitan penunggu jalan. Untuk menerangkan syaitan
itu apa, orang tidak tahu. Apakah syaitan itu berkaki dua atau
empatkah, bertelur atau menyusuikah, orang tidak tahu. Namun orang
bertahayul menganggapnya bisa menjegal.
Contoh yang lebih jelas lagi, tatkala gunung Merapi meletus, orang
bertahayul menghubungkannya begini: "Peristiwa itu adalah pernyataan
Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan) yang marah lantaran gagal dalam
mencari korban untuk pesta perkawinan putra/putrinya, sehingga
diletuskannya gunung Merapi, beledar-beledur-beledar-beledur." Jelaslah
Kanjeng Ratu Kidul tidak ada sangkut-paut dengan letusan gunung Merapi.
Karena siapakah dan apakah Kanjeng Ratu Kidul itu saja, orang tidak
tahu. Namun orang bertahayul memaksa menghubung-hubungkannya demikian.
Ketahayulan itu menyebabkan orang bertapa dan berpantang yang
aneh-aneh, seperti merendam diri selama satu jam dalam tempo empat puluh
hari, dengan pendapat bahwa: "Jika setiap malam merendam diri sambil
mengucapkan mantera-mantera ini, daiam waktu empat puluh hari pasti aku
akan memperoleh karunia dan senangiah aku selama-lamanya." Tetapi bila
mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah pandangannya dan tahulah
bahwa hasil orang merendam diri selama itu, hanyalah menggigil
kedinginan semata-mata. Bahkan isterinya terlanjur kesepian kedinginan
tidak dapat tidur sebab menunggu-nunggunya. Dalam pada itu mertuanya pun
membenci karena melihat anaknya tidak dilayani sewajarnya melainkan
ditinggalkannya tiap malam hanya untuk merendam diri.
Tindakannya berpantang yang aneh-aneh itu seperti pantang makan dan
pantang tidur. Padahal orang lapar itu enaknya kalau makan dan orang
mengantuk itu enaknya kalau tidur. Jadi orang itu memantang hal-hal yang
enak-enak, namun mengeluh bahwa tidak pernah mengalami keenakan dalam
hidupnya. Tetapi jika mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah
pandangannya, dan mengerti bahwa hasil berpantangan makan dan tidur itu
lapar dan kantuk belaka.
Pantangan aneh-aneh itu kalau berlarut-larut sehingga berpantang
berdekatan dengan suami/isteri sendiri, enakkah rasa yang berpantang dan
yang dipantang itu? Pastilah tidak. Itu pun belum tentu ia dapat
bertahan dalam pantangannya. Nanti baru berjalan seminggu saja, bila
tidak diawasi, diam-diam, sudah menyerobot. Setelah itu saling
menyesali: "Orang sudah dipesan sedemikian rupa! Orang sedang prihatin
bertapa supaya memperoleh kurnia! Mengapa kamu pun masih mau saja dan
kini semua usahaku batal, dan untuk mulai lagi aku tidak sanggup."
Tetapi jika orang mengerti bahwa manusia itu abadi, teranglah
pandangannya, dan mengerti bahwa hasil berpantang isteri sendiri adalah
tidak betah. Demikian sifat katahayulan yang mendorong orang bertapa dan
berpantang yang bukan-bukan, karena berpendapat bisa senang atau susah
selama-lamanya.
T a b a h (Bhs.Jawa: Tatag)
Apabila kita mengerti bahwa menusia itu abadi, keluarlah orang dari
neraka menyesal-khawatir dan masuk surga ketabahan. Ini berarti berani
menghadapi segala hal. Berani menjadi orang kaya atau miskin, menjadi
raja atau kuli, menjadi wali (orang suci) atau bajingan. Karena ia
mengerti bahwa kesemuanya itu rasanya pasti sebentar senang, sebentar
susah. Teranglah pandangannya dan mengerti bahwa semua pengalaman itu
tidak ada; yang mengkhawatirkan atau yang sangat menarik hati.
Pada pokoknya yang ditakuti itu adalah kesusahan, padahal orang tentu
mampu menderitanya. Sudah terbukti beribu-ribu kesusahan yang dialami,
ia mampu menderitanya. Kesusahan yang paling hebat adalah merasa sangat
malu atau menderita sakit sangat berat. Sedangkan jika hanya sangat malu
dan sangat sakit saja, pasti orang mampu menderitanya. Walaupun ia
selalu mengeluh: "Rasa malu kali ini benar-benar melukai hatiku, aku
tidak kuat menanggungnya. Itu lain dengan pengalaman-pengalaman yang
lampau!" Tetapi bila lepas dari neraka menyesal-khawatir dan masuk surga
ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri sendiri yang sering
bohong. "Malu yang mana yang kau tidak kuat menanggungnya? Kenyataan
yang tengah dialami ini, benar menimbulkan rasa malu, benar-benar
menyebabkan kau meringis sehingga kau benar-benar tidak berani keluar
rumah menemui orang. Namun meskipun demikian kau tetap kuat
menanggungnya juga."
Demikian pula di waktu sakit, orang mengeluh: "Sakitku kali ini
benar-benar berat, benar-benar aku tidak kuat menanggungnya. Lain dengan
sakit yang lampau!" Tetapi bila lepas dari sesal-khawatir serta masuk
surga ketabahan, orang dapat menuntut bukti pada diri-sendiri yang biasa
membohong: "Sakit yang manakah yang kau tidak kuat menderitanya?
Kenyataan yang sedang dialami ini benar-benar sakit berat sehingga kau
benar-benar merintih, namun meskipun demikian tetap kuat menanggungnya.
Padahal betapapun hebatnya orang menderita sakit ia hanya berakhir
dengan mati. Sedangkan kalau cuma mati saja ia mesti kuat menjalaninya,
dan itu telah dialami oleh beribu-ribu orang yang mati. Kalau aku mati,
pasti perjalananku sama dengan orang-osang yang telah mati itu."
Oleh karena itu bila orang kuat menanggung semua pengalaman dan dapat
mencukupi apa yang diperlukannya maka tumbuhlah rasa kaya. Tiap kali
merasa malu, asal saja meringis sudah cukup. Artinya orang tidak
kehabisan rasa meringis bila mendapat malu dan tidak kekurangan rintihan
bila menderita sakit. Dan menjelang saat kematian, asal saja berdiam
diri sudah cukup.
Pada pokoknya yang diinginkan adalah rasa senang dan rasa senang ini
pasti tercapai. Di mana saja, kapan saja, bagaimana saja, arang mesti
mengalami senang. Misalnya orang menderita susah karena terbakar habis
rumahnya. Bila ia menemukan sebuah celananya saja yang tidak turut
terbakar, ia tetap bisa merasa senang. "Wah, untunglah celanaku tidak
terbakar." Misalnya orang menderita susah karena terlindas mobil kakinya
hingga putus. Pada waktu sadar dari pingsannya ia pun masih dapat
merasa senang. "Wah, untunglah kepalaku tidak terlindas sekalian." Bila
kepalanya pun kelindas hingga mati, masih ia bisa senang, "Wah,
untunglah isteriku tidak ikut terlindas."
Apabila orang mengerti bahwa semua peristiwa-peristiwa itu tidak ada
yang mengkhawatirkan dan tidak ada pula yang sangat menarik hati, maka
teranglah pandangannya, serta bebaslah ia dari barang-barang di atas
bumi dan di kolong langit ini. Karena ia mengerti bahwa barang-barang di
atas bumi di kolong langit itu tidak dapat menyebabkan orang bahagia
atau celaka. Juga tidak dapat menyebabkan orang senang atau susah.
Karena pada hakekatnya, yang menyebabkan senang itu ialah
keinginannya tercapai, dan yang menyebabkan susah itu ialah keinginannya
tidak tercapai. Tetapi bukanlah barang-barang yang diinginkannya.
Misalnya bila hujan dianggap menyenangkan, maka tiap kali turun hujan
orang mesti senang. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Bagi orang yang
sedang menyelenggarakan pertunjukan ketoprak (sandiwara jawa), bila
hujan turun maka ia merasa susah. Kebalikannya, bila hujan dianggap
menyusahkan, tiap kali hujan turun orang mesti merasa susah.
Kenyataannya pun tidak demikian. Bagi petani yang sedang menanam padi,
bila hujan turun maka ia merasa senang.
Contoh lain yang lebih gamblang dan terang. Bila orang
bersuami/isteri yang mempunyai anak dianggap senang, maka setiap orang
yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap senang saja. Padahal yang
sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercekcok dengan
suami/isterinya, dan anak-anaknya rewel, orang pasti merasa susah.
Kebalikannya, jika bersuami/isteri dan beranak itu dianggap susah, maka
setiap orang yang bersuami/isteri dan beranak tentu tetap susah saja.
Padahal sesungguhnya tidak demikian. Bila sedang bercumbu-mesra dengan
suami/isteri dan menimang-nimang anaknya, pasti orang merasa senang.
Jadi jelaslah bahwa barang-barang itu tidak menyebabkan orang senang
atau susah. Oleh karena itu, di atas bumi dan di kolong langit ini tidak
ada barang-barang yang pantas dicari, ditolaknya atau dihindari secara
mati-matian.
---
BAGIAN IV
Mengawasi Keinginan
Manusia itu semua sama yakni abadi, rasanya sebentar senang, sebentar
susah, sebentar senang, sebentar susah, demikian seterusnya. Bila
kebenaran itu dimengerti, keluarlah orang dari penderitaan neraka
iri-sombong, sesal-khawatir yang menyebabkan prihatin, celaka, dan
masuklah ia dalam surga tenteram dan tabah yang menyebabkan orang
bersuka-cita, bahagia.
Setelah bersuka-cita dan bahagia, maka dapatlah orang menyadari
dirinya sendiri sewaktu timbul keinginan apa-apa. Setiap keinginan itu
pasti mengandung rasa takut kalau-kalau tidak tercapai. Keinginan inilah
yang segera diyakinkannya: "Keinginan itu jika tercapai tidak
menimbulkan bahagia, melainkan senang sebentar yang kemudian akan susah
lagi. Dan bila tidak tercapai pun tidak menyebabkan celaka, hanyalah
susah sebentar yang kemudian akan senang lagi." Maka ia bisa
menantangnya: "Silakan keinginan, berusahalah mati-matian mencari
senang-senang abadi, dan berdayalah mati-matian menolak susah abadi,
pastilah tidak berhasil. Kamu (keinginan) tidak mengkhawatirkan lagi".
Bila orang dapat meyakinkan keinginannya sendiri demikian, lenyaplah
rasa prihatin. Berbareng lenyapnya prihatin, tumbuhlah si pengawas
keinginannya sendiri yang mengerti keinginannya sendiri.
Benih Pengetahuan
Si pengawas keinginannya sendiri ini ialah rasa aku, rasa ada. Orang
itu tentu berasa aku, tidak bisa tidak berasa aku. Setiap berasa aku
tentu berasa ada. Berasa aku tetapi tidak berasa ada, tidaklah demikian.
Si pengawas itu abadi karena ia itu barang asal. Barang asal itu
tidak ada asalnya untuk membuatnya, tetapi malahan sebagai asal dari
semua barang dan hal. Ia itu asalnya rasa aku-senang, aku-susah. Si
pengawas ini abadi dalam mengawasi keinginannya sendiri yang bersifat
sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret
dengan rasa sebentar senang, sebentar susah, sebentar senang, sebentar
susah. Rasa abadi yang mengawasi keinginannya sendiri itu, ialah abadi
senang dan abadi bahagia.
Ketika si pengawas belum timbul, orang merasa "akulah berkeinginan,
aku senang, aku susah." Ia itu masih sebagai benih pengetahuan yang
mengetahui tindak-tanduk manusia, serta belum timbul rasa senang dan
bahagia. Wujudnya si pengawas ketika itu belum timbul, tetapi masih
sebagai benih ialah seperti contoh berikut ini. Misalnya orang ingin
buang air, dalam diri orang itu ada yang mengetahui dan mengerti "Aku
ini tergesa-gesa menuju ke kakus, pastilah ingin buang-air." Yang
mengerti bahwa dirinya ingin buang air ini, tidaklah ikut berkeinginan
buang air, akan tetapi hanya mengerti kehendaknya saja, yaitu si
pengawas ketika belum tumbuh tetapi masih sebagai benih pengetahuan.
Contoh lain yang lebih jelas ialah orang yang makan cabe merasa
pedas. Dalam diri orang itu ada yang mengetahui dan mengerti "Aku ini
megap-megap mencari minuman, tentulah kepedasan." Yang mengerti bahwa
dirinya kepedasan ini tidaklah turut kepedasan, melainkan mengerti bahwa
dirinya kepedasan, yaitu ketika si pengawas belum timbul tetapi masih
sebagai benih pengetahuan.
Contoh lain yang lebih dekat, misalkan orang merasa malu, dalam diri
orang itu tentu ada yang mengetahui dan mengerti: "Aku ini pasti
mendapat malu, karena meringis-ringis dan tidak berani keluar rumah."
Yang mengerti dirinya memperoleh malu ini, tidaklah turut merasa malu,
melainkan mengertinya saja, yaitu ketika si pengawas belum timbul,
tetapi masih sebagai benih pengetahuan. Dan orang merasa "Akulah
berkeinginan, yang senang, yang susah, yang malu, yang kepedasan, yang
ingin buang air, adalah aku."
Bila si pengawas sudah timbul, lenyaplah rasa prihatin, kemudian
orang merasa "Aku bukanlah keinginan", dari sini ia akan merasa "Yang
senang dan susah bukanlah aku", dari sini ia merasa "Yang malu, yang
kepedasan, yang ingin buang air bukanlah aku."
B a h a g i a
Maka orang akan merasa "Aku mengawasi keinginan, aku senang, aku
bahagia." Bila orang sudah mempunyai rasa "Aku mengawasi keinginan, aku
senang, aku bahagia", maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan
perjalanan hidupnya sendiri, ia merasa "Itu bukanlah aku." Begitu juga
dalam menanggapi dunia dengan segenap isinya dan semua
kejadian-kejadian, orang pun merasa "Itu bukanlah aku."
Demikian rasa aku itu bahagia dan abadi. Karena itu, di mana saja,
kapan saja, bagaimana saja, bahagialah orang itu. Demikianlah
pengetahuan orang hidup bahagia.
---
PENUTUP
Demikian keseluruhan rasa-rasa manusia. Rasa-rasa yang diterangkan di
sini hanyalah yang pokok-pokok saja. Adapun kefaedahannya hanyalah
sebagai batu loncatan untuk mempelajari perincian rasa-rasa sendiri.
Yang menjadi penghalang untuk mengetahui perincian rasanya sendiri
ialah cita-cita dalam arti umum. Wujud cita-cita itu adalah: "Mencari
senang abadi", seperti yang telah dibahas dalam buku ini. Bila diteliti
sampai benar-benar jelas cita-cita itu lenyap, artinya orang akan berasa
bahwa "Cita-cita ini bukanlah aku."
Bila cita-cita itu telah diketahui, dapatlah orang mengetahui
perincian rasa-rasanya sendiri. Ternyata bekerjanya (prosesnya)
rasa-rasa itu menurut hukum alam. Bila hukum alam itu diketahui, orang
akan bertindak sesuai hukum alam itu dan merasa bahagia.