“Tidak tahu itu pada akhirnya akan timbul saat kita meneliti satu persatu barang atau satu persatu kejadian. Umpama meneliti satu persatu barang; betapa barang yang terkecil pun tentu masih dapat dibagi, sedang bagian terkecil itu juga masih bisa dibagi lagi. Demikian pula ketika meneliti barang yang terbesar; pun tentu masih dapat diduakalikan, sedang duakaliannya juga masih bisa diduakalikan lagi. Jadi, dalam meneliti barang yang benar-benar terkecil dan terbesar, kita pasti akan bermuara pada titik tidak tahu. Demikian pula saat meneliti suatu peristiwa, ketika bumi dan langit belum ada misalnya, apakah yang terjadi? Dan sebelum kejadian itu, apa pula yang telah terjadi? Demikian seterusnya, hingga pada akhirnya kita pasti tidak tahu. Begitu juga dalam meneliti kejadian setelah bumi dan langit lenyap misalnya, apakah yang akan terjadi? Dan setelah kejadian itu, apa lagi yang akan terjadi? Demikian seterusnya, dan pada akhirnya kita pun pasti tidak tahu. Jadi untuk mengetahui kejadian yang semula dan terakhir itu, sesungguhnya kita tidak akan pernah tahu. Tetapi jika ketidaktahuan itu kita paksakan, lantas kita pun menjadi mengira tahu, dan mengira tahu hakikatnya adalah tidak tahu. Jadi, mengira tahu sesungguhnya adalah ketidaktahuan yang dipaksakan; hanya untuk memenuhi pengharapan untuk dapat mengetahui segala hal sehingga mencari-cari tamsil, tanda-tanda, persamaan-persamaan, dan menjadikannya sebagai ilmu keyakinan jadi-jadian.”
Ki Ageng Suryomentaram
Filosof Jawa, Guru Ilmu Kawruh Begja (Ilmu Bahagia)