Kita bukanlah nama kita. Apapun nama kita, seberapa semerbakpun nama itu kita buat, kita tetap bukan nama itu. Nama itu memang kita akui sebagai kepunyaan kita, nama kita —yang sebetulnya hanya untuk menamai jasad-kasar ini, untuk membedakannya dengan jasad-jasad kasar lainnya; sejauh kita merasa memiliki tubuh yang kita kenakan ini, kita juga mengenakan nama itu; akan tetapi, sekali lagi, kita bukanlah nama itu.
Buat saya, Anda adalah Anda; dinamai apapun tubuh Anda itu, Anda tetap bukan nama itu. Demikian juga halnya dengan saya. Anda bisa saja mengenal nama dari tubuh ini, tapi Anda tak pernah mengenal “saya”. Yang selama ini Anda anggap sebagai “saya” itu hanyalah citra yang Anda bentuk sendiri tentang “saya”. Seperti apapun citra itu, tetap bukan “saya”. Anda hanya mungkin mengenal “saya”, kalau Anda adalah “saya”, yakni bilamana Anda telah mengenal apa atau siapa sesungguhnya “Anda”; yang jelas, bukan sekedar tataran fisikal-biologis Anda, atau tataran mental-psikologis Anda, atau tataran spiritual Anda sekalipun. Semua itu hanyalah lapis-lapis busana yang Anda kenakan, yang Anda sandang dalam kelahiran Anda sekarang ini. Semua itu ... bukan Anda.
Dan, apapun yang saya rasa saya kenali sebagai Anda, hanyalah citra yang saya bentuk tentang Anda. Citra itu, seberapa rincipun itu adanya, betapa mendekatipun itu adanya, tak pernah adalah Anda. Begitu pula sebaliknya.
Menyadari fakta ini, seseorang akan menyadari betapa semunya pembentukan “citra-diri” yang selama ini diperjuangkannya. Padahal, ia sendiri tak mengenal siapa ia adanya, dan malah ikut-ikutan menyangka kalau dia adalah citra-citra yang dibuat orang-orang atas dirinya dari upaya pencitraan-diri —baik sengaja maupun tak sengaja— yang ia lakukan selama ini. Apa yang sesungguhnya terjadi pada orang itu adalah, tertipu oleh ulahnya sendiri, oleh pencitraan-dirinya sendiri. Sedemikian piawainya si diri ‘menyamarkan’ dirinya di balik berbagai citra-citra itu, sehingga ia sendiri tidak tahu siapa atau apa ia adanya.
Apa yang disebut orang-orang sebagai ‘jati-diri’ Andapun bukanlah Anda. Itu hanya dirujukkan pada ‘kepribadian’ Anda. Jati-diri Anda, bukan Anda. Itu hanyalah apa yang Anda sandang selama ini. Anda yang sejati, yang seperti ‘apa adanya’, hanya Anda sendirilah yang wajib mengetahuinya. Saya bisa saja mengatakan bahwa Anda adalah ini atau itu, tapi itu hanya bagi saya. Saya, atau Guru Anda sekalipun, tak bisa melakukannya untuk Anda; beliau hanya bisa membimbing Anda ke arah itu.